Blog Ali AKbar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Dia, Dia, Dia, atau Dia...


Langit tampak gelap, tak ada satupun bintang yang terlihat memberikan warna dimalam yang kelabu ini. Hujan baru saja reda, kaca jendelaku masih basah. Memang, hujan kali ini disertai angin yang lumayan kencang. Jemuran yang masih bergelantungan dibelakang rumahpun berceceran di tanah. Kupandang langit dari segala arah, bulanpun tak tampak karena tertutup awan. Entah mengapa malam ini terasa sunyi, meski kendaraan beringas lalu lalang dijalur perbatasan. Suara radio dari tetanggapun berdesing-desing. Tapi apa yang membuatku terasa begitu senyap. Mungkinkah itu karena hatiku yang sedang gundah? Atau... atau.. ah.. aku tak tahu. Ya, mungkin saja karena itu. Aku memang sedang dilanda kegundahan.

Kutarik nafas dalam-dalam, Kuulangi berkali-kali. Dinginnya udara malam ini begitu terasa menusuk hingga ketulang-tulangku. Lalu aku bergegas kembali ke kamar. Kupandang langit-langit kamarku yang warnanya semakin memudar. Imajinasiku kian liar membawaku kepermasalahan yang begitu membuatku merana. Mulai tampak goresan-goresan hitam dilangit-langit kamarku yang berwarnah putih pudar dengan bercak-bercak noda karena rembesan air hujan. Goresannya kian lama kian bertambah membentuk lukisan-lukisan tentang kehidupanku dengan mereka. Tergambar aku sedang berada diantara mereka, terkepung dengan sejuta pertanyaan. Aku laksana tenggelam dilautan lepas dikelilingi pemangsa-pemangsa ganas dari samudra terluas. Aku cuma bisa berdiam diri, tanpa kusadari air mataku mulai menjalar membanjiri pipiku. Ingin rasanya aku berlari menjauh dari mereka tapi apadaya, aku bagaikan terpenjara, kakiku seakan terpasung, tanganku seakan terlilit tali barut. Silih berganti mereka melontarkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang seakan memaksaku hingga ku tak mampu lagi menutupi semua ini. Dan rasanya aku ingin berteriak menyatakan memang benar, itu memang benar, memang aku, aku, ah, tapi aku tak bisa.

Tiba-tiba terdengar bunyi alarm dari jam beker yang ada dimeja samping tempat tidurku. Lamunankupun sirna seketika dibuatnya. Ternyata sudah pukul 03.00 pagi. Hari masih terlalu dini untuk memulai aktifitas diluar rumah. Kulirik buku yang ada di rak, tampak hasrat untuk melisankan kata demi kata dari buku koleksiku yang berjejer rapi di rak buku. Tiba-tiba konsentrasiku terfokus pada satu buku yang tampak mencolok dari jauh, buku berwarna merah itu mengingatkanku pada sosok dia. Aku pun hanya memandang buku itu selama beberapa waktu. Ada kisah yang tak mampu kulupakan dari sosoknya. Sosok yang membuatku gundah dan hidup tanpa arah seperti sekarang ini.
Hari berlalu begitu cepat. Tapi apa yang kurasakan tak juga sirna dari perauduannya. Sempat satu waktu aku mulai melupakan apa yang pernah terjadi semasa itu. Tapi semua kembali bangkit menyerang tiap inci pikiranku. Hatiku semakin risau dibuatnya. Memang, aku memang terlalu berlebihan menyikapi persoalan ini. Persoalan yang aku sendiripun tak tahu awalnya. Semua muncul begitu saja.

Kuingat masa-masa itu, aku yang memang merasa berbeda dari mereka. Jiwaku seakan kosong, pikiranku kadang hanya dipenhi oleh lamunan-lamunan yang menjerumuskanku kepada lembah kesepian. Sebab itulah aku merasa terkucilkan dari kelompok itu. Aku merasa hanya sebagai anggota buangan yang tak berpengaruh apapun. Kehadiranku ataupun ketidakberadaanku dalam kelompok itu semua tak merubah satu apapun. Memang iya, aku memang tak pernah berarti apa-apa. Itulah yang menjadi awal kekacauan yanng terus mengahantui pikiranku.

****

“Aku masih tertawan dengan rasa kepedihan yang teramat dalam. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku kini hadir dalam hidupku. Rasa bersalah yang amat dalam membuatku begitu risau. Hingga menatap dirinya dari jauhpun aku tak sanggup. Bayang-bayang kerusakan jiwaku seakan siaga setiap saat tuk menerkamku. Menghanyutkanku kedalam lembah kesengsaraan yang teramat dalam. Aku hanya bisa meneteskan air mataku dan hanyut dalam kesedihan yang tak pernah berujung itu. Canda tawa yang pernah hadir dalam dirinya saat bersamaku kini terhapus oleh kekesalan yang kian membawaku kedalam jurang derita. Dalam ruang yang begitu gelap tanpa cela aku hanya bisa mengucap maaf. Maaf Tulus Dari dalam Hati...”

Kelas yang tadinya hening tiba-tiba gempar tak terkendali. Semua ponsel di dalam ruang kelas berdering. Bisik-bisik pun mewabah. Pesan yang begitu panjang hadir secara misterius diruang kelas. Membuyarkan semua persoalan tentang pelajaran. Semua asyik membahas pesan yang tak diketahui siapa pengirimnya dan kepada siapa ditujukan. Saling tudingpun tak bisa dihindari. Mereka masih hanyut dalam suasana rusuh, tiba-tiba ponsel mereka kembali berdering. Pengirim yang sama kembali berulah.

“Kulihat dirimu tak ada selera menikmati hari-harimu itu semakin menyulut rasa bersalah pada diriku. Andai kamu tahu itu sangat membuatku begitu menyesal. Aku sangat menyesal atas apa yang kulakukan terhadapmu. Tak pernah kusadari akan begini jadinya. Tak ada lagi rasa yang bisa kurasakan selain rasa bersalah yang teramat sangat yang bisa kurasakan. Dan tak ada lagi kata yang mampu terucap dari lisanku selain kata maaf, Maaf Tulus dari dalam Hati... Maaf atas semua kesedihan yang telah kugoreskan dalam bingkai hatimu. Maaf atas segala luka yang telah kau rasakan atas dosa dan salahku yang teramat besar. Cuma itu yang mampu terucap dariku maaf, ya memang hanya kata maaf yang bisa kulafalkan, Maaf, Maaf Tulus dari dalam Hati...”

Kelas makin ramai. amarah mulai tampak dari sebagian wajah anggota kelompok itu. Seorang pria dengan tinggi semampai mulai melontarkan kata makian. Kemudian disusul oleh oleh lelaki yang duduk disebelahnya dengan ucapan kotor dan melaknat si pengirim pesan itu. Tak hanya itu perempuan berkerudung hijau yang duduk dibaris paling depan pun berkoar-koar menghujat pengirim pesan. Saling tuduh, saling tunjuk, dan saling menyalahkanpun makin memanas.

“Dia, dia pelakunya.” tunjuk wanita berkerudung hitam. Semua mata tertuju pada pria berkacamata. Pria itupun hanya terdiam dan tak percaya dia yang menerima getah atas perilaku orang yang tak bertanggung jawab. “Mengaku sajalah, kamukan pelakunya. Saya tahu kamu lagi bermasalah dengan dia kan?” wanita berkerudung hitam menunjuk pria berkaos oblong yang dia yakini lawan dari si pria berkacamata. “Mana coba buktinya kalau saya yang melakukan. Kalau saya yang melakukan itu dia akan tahu kalau saya mengirim pesan karena dia duduk disampingku. Lagian dari tadi saya membaca buku kok.” Pria berkacamata membela diri dengan menyeret pria berkumis tipis yang duduk disampingnya sebagai orang yang akan lebih tahu apa yang dia perbuat selama duduk disampingnya.
“Saya tahu dia pelakunya. Karena kemarin dia bertengkar dengan dia.” Wanita berambut pirang menunjuk si wanita berlesung pipit yang diketahui sedang berselisih paham dengan wanita berbaju putih yang duduk dipojok belakang. Wanita berlesung pipit hanya tersenyum sinis mendengar ucapan si wanita beramput pirang dan melontarkan pembelaannya “Mana coba buktinya kalau saya yang mengirim? Jangan asal tuduh deh. Jangan-jangan lagi kamu yang mengirim tapi pura-pura menyalahkan orang lain untuk menutupi kedok kamu.”

Kegaduhan hari ini memberikan warna tersendiri selama mereka berada dalam kelompok itu. Keadaan yang awalnya mengalir tenang kini dirusak oleh ombak perusuh yang menyambar kelompok itu. Tidak saling percaya mulai tampak begitu nyata dan kecemasan seakan lebih jelas dari setiap anggota kelompok. Kecemasan menjadi kambing hitam atas apa yang terjadi menjadi satu hal yang tak bisa mereka hindari. Kenyamananpun mulai hilang dibuatnya.

****

Matahari beralih memancarkan pesona yang begitu indah. Langit tampak jingga mewarnai kota daeng petang ini. cuaca yang bersahabat tak mampu membuat perasaanku merasa damai. Kelakuan yang pernah kuperbuat itu membuatku gundah gulana. Hatiku dipenuhi kebimbangan yang teramat sangat. Ketakutanku terhadap kegusaran darinya membuatku berpikir untuk membuka atas apa yang selama ini aku tutup-tutupi. Hingga matahari tenggelam bagai tertelan bumi, aku memutuskan untuk melakukan apa yang seharusnya kuperbuat. Lewat pesan yang ku kirim di akhir senja, aku berharap semua akan kembali seperti sedia kala. 

“Aku diantara dia, dia, dan dia yang kalian sebut sebagai pelaku pengirim pesan itu. Aku tak ada niatan untuk membuat kalian semua berang. Aku hanya ingin kalian tahu betapa aku merasa bersedih atas apa yang terjadi padaku. Aku menjadi tak enak hati kepada dia hanya karena ucapanku yang sepele. Kini aku dan dia tak bisa seperti dulu lagi. Dulu aku dan dia bersama yang lain bisa bepergian ke beberapa tempat. Namun kini hanya karena bercandaanku yang buatku tak bernilai apa-apa tapi direspon berlebihan oleh dia. Aku mengaku bersalah, aku memang tak kuasa membaca waktu yang tepat untuk melontarkan kata-kata. Aku hanya ingin yang lain mengetahui apa yang kemarin-kemarin kita lakukan itu membuat aku merasa bahagia karena di kota yang tak ada seorangpun keluargaku, aku masih bisa merasakan hangatnya kebersamaan layaknya apa yang aku dapatkan di rumah. Tapi kenapa, kenapa kamu tak bisa mengerti perasaanku? Kemarin-kemarin ketika kamu bercanda, melontarkan kata-kata yang tak terdengar bersahabat dkupingku aku masih memakluminya. Aku tak pernah mengambil hati setiap kelakarmu padaku. Tapi hanya sekali aku melakukan itu, Kenapa kamu tak bisa memahamiku dan berlaku adil padaku? Aku juga ingin melakukan apa yang biasa kau lakukan itu. Apa yang salah denganku? Apa? Apa? Sehingga kamu tak membiarkanku sekalipun untuk melontarkan candaan. Lagian Kata-kataku tak mengandung olok-olok seperti yang kadang kau ujarkan padaku. Aku minta maaf atas kesakitan hatimu hanya karena ucapanku yang ku anggap enteng itu. Maaf, Maaf...

Maaf Tulus dari dalam Hati...

By: Dia yang terus diselimuti rasa bersalah”

Di malam panjang aku hanya mengurung diri di kamar. Aku masih memikirkan apa yang telah aku perbuat tadi sore. Aku mengirimkan pesan untuk menyelesaikan masalah yang aku telah timbulkan, namun aku tak menekankan bahwa dia yang aku maksud itu adalah aku. Tiba-tiba terdengar gemuruh dari atap rumah. Seakan awan mampu mendengar jeritan batinku yang terbalut kepedihan. Awan gelap menyelimuti kota daeng dan menjatuhkan titik-titik air tuk membasuh kota yang beberapa hari ini terasa palak. Seperti malam ini, mataku terus mengalirkan butir-butir air mata. Aku merasa sedih namun aku juga merasa kecewa. Aku bersalah namun aku juga menderita sebagai korban keegoisannya. Meski seribu maaf yang ku ucap hatiku tak akan pernah seperti semula lagi. Namun aku tak bisa berhenti menyebut maaf, Maaf Tulus dari dalam Hati...

Untuk dia yang kini mungkin sudah melupakan hari itu, aku disini terus berusaha mengingat kejadian itu. Untuk dia yang kini sudah tak pernah ada kabarnya aku sampaikan sejuta maaf, Maaf Tulus dari dalam Hati... Selama nafas ini masih berhembus selama itu pula peristiwa yang membuat persahabat kita hancur terus menjadi bagian dari pikiranku. Remuk rengsa, namun tak ada yang bisa ku perbuat. Tak ada yang bisa ku berikan padamu selain kata Maaf.
Maaf Tulus dari dalam Hati...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar