Blog Ali AKbar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Sahabatku Yang Terbius Indah Duniawi


Matahari mulai tertutup awan hitam pertanda hujan kian mendekat. Rama pun bergegas pulang meski rapat pembentukan panitia kegiatan Pekan Olahraga dikampusnya belum usai. “Fahmi, aku duluan ya. Soalnya mau hujan nih dan kayaknya hujannya bakalan deras takut nanti kemalaman kalau mesti tunggu hujannya reda.” Ucap Rama pamit kepada Fahmi sahabatnya. “Kenapa nggak barengan aja sama aku? Nanti aku antar.” Tutur Fahmi memberikan saran. “Nggak usah, ada urusan sebentar malam” jawab Rama sambil berlalu meninggalkan ruang rapat.
Tiba-tiba didepan gerbang, Rama tersambar mobil Honda Jazz berwarna putih. Ramapun terlempar karena kaget. Raut wajahnya kian memerah menampakkan jika dia sedang tersulut emosi. Bagaimana tidak pengendara mobil yang hampir mencelakakan nyawanya berlalu begitu saja tanpa sedikitpun prihatin padanya. Ramapun berjanji akan memberi pelajaran kepada orang yang hampir menabraknya. Selang beberapa menit sebuah angkotpun lewat. Rama tak mau menyia-nyiakan waktunya, dia lantas naik ke angkot dan meninggalkan kampus.
Malam kian larut, Wajah kota metropolitan kian menunjukkan pesonanya. Bersama dengan teman kostnya, Rama menuju sebuah kost-kostan dipinggir kota Makassar. Sesampainya di sana Rama dan teman kostnya Idun disambut oleh beberapa pemuda berambut gondrong. “Eh, aku bawa teman baru nih.” Ucap Idun kepada pemuda-pemuda itu. “Aman gak?” Tanya Beni pemilik kamar kost. “Tenang saja, dia ini teman kostku kok, orangnya baik jadi gak mungkin ada apa-apa.” Jawab Idun meyakinkan Beni dan teman-temannya. “Kenalin nih namanya Rama.” Sambung Idun.
Sejak malam itu Rama mulai mengenal namanya sabu-sabu. Bukan hanya sebagai pemakai saja Rama kini diajak oleh Idun dan teman-temannya untuk berbisnis barang haram itu. Rama yang sebelumnya hidup sederhana bahkan kadang kekurangan, kini mulai menjalani hidup penuh pesta. Klub malampun menjadi tempat tongkrongannya. Rama kini sedikit demi sedikit menjauh dari sahabat-sahabatnya di kampus.
“Rama, kamu kok nggak pernah lagi ikut rapat sih? Padahal acaranya tinggal dua minggu lagi. Kamu juga tidak pernah hadir kalau panitia ngadain kerja untuk persiapan acara pembukaan. Kamu kemana aja?” Tanya Fahmi. “Itu bukan urusanmu.” Jawab Rama sambil berlalu. “Rama, Rama, tunggu aku mau bicara sama kamu.” Teriak Fahmi sambil menyusul Rama. “Rama kamu ada masalah apa? Bilang sama aku, siapa tahu aku bisa bantu. Kita ini sahabat Rama, aku khawatir sama keadaan kamu sekarang. Kamu seakan acuh sama kuliah kamu, kamu nggak betah lagi berada di kampus. selepas jam kuliah kamu langsung bergegas pergi entah kemana. Kamu sekarang beda, bukan Rama yang aku kenal dulu. Kamu bahkan seperti bukan Rama sahabat aku.” Ujar Fahmi. “Ok. Kalau itu kata kamu. Aku memang bukan sahabat kamu lagi.” Jawab Rama lantas pergi keluar kampus.
Rama tampak sibuk dengan Hpnya di depan Halte. Tiba-tiba lewat Mobil Honda Jazz putih memasuki gerbang yang ada di depan Halte. Ramah langsung memfokuskan pandangannya menatap mobil itu dengan wajah nanar. Tanpa buang waktu, Rama menuju parkiran yang ada di kampus. ketika pengemudi mobil putih itu keluar dari mobil Rama langsung melayangkang kepalan tangannya ke wajah pria itu. “Ini balasan buat orang yang tidak tahu sopan santun, tidak berprikemanusiaan. Mentang-mentang kamu naik mobil bagus, kamu seenaknya saja mengendarai mobil tanpa memperhatikan orang yang sedang berjalan kaki.” Ujar Rama ke pemuda itu. “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti. Yang tidak punya sopan santung siapa? Yang tidak punya rasa prikemanusiaan siapa? Kamu atau aku? Tahu-tahu kamu langsung saja menghajarku. kamu mau cari gara-gara sama aku. Awas kamu.” Ancam Pemuda itu dengan nada keras. “Oh, jadi kamu sudah lupa kejadian itu. Lihat saja nanti akan kubuat kamu mengingat semua itu sedetail mungkin.” Bentak Rama sambil mengambil sebuah batu lalu melemparkannya ke kaca depan mobil Honda Jazz putih itu lalu berlari meninggalkan parkiran. “wee, sialan, brengseng kamu. Aku tidak akan melupakan kejadian ini.” Teriak pemuda itu dengan wajah merah padam. Sejak kejadian itu Rama seakan-akan ditelan bumi. Dia tak pernah lagi tampak di kampus.
Pekan Olahraga yang diadakan Jurusan Matematika salah satu Universitas di Makassar berjalan meriah. Beberapa cabang olahraga dipertandingkan di acara tahunan itu. Para panitia tampak sibuk mempersiapkan semua perlengkapan lomba. Termasuk Fahmi yang merupakan panitia inti diacara itu. Disela-sela istirahat tiba-tiba hp Fahmi berdering. Sebuah pesan yang ternyata dari Rama. “Fahmi, aku mau ketemu sama kamu. aku butuh bantuan kamu. kita ketemuan di tempat makan dibelakang kampus.” isi pesan Rama. Fahmipun bergegas menuju tempat makan tersebut. Sesampainya di sana Fahmi tampak kaget melihat Rama. Wajahnya pucat, dan penampilannya tampak urak-urakan seperti orang yang sudah tidak terurus.
“Rama, Kamu kenapa kok jadi begini? Kamu sedang ada masalah apa?” “Sudahlah kamu jangan banyak tanya, aku butuh batuan.”
“iya tapi masalah kamu apa?”
“masalahku uang.”
“Aku kan sudah bilang ke kamu kalau kamu kehabisan uang untuk makan datang saja ke aku, jangan ngutang. Berapa utang kamu?”
“sepuluh juta.”
“apa? Itu untuk apa Rama. Kamu ada urusan apaan diluar sana sampai-sampai kamu perlu uang sebanyak itu?”
“aku bilang kamu jangan banyak tanya. Berikan saja uangnya!”
“aku tidak punya uang sebanyak itu. Lagian kalau pun aku punya aku tidak akan kasih ke kamu. kamu sudah berubah Rama.”
Fahmi lantas pergi meninggalkan Rama dengan wajah kecewa melihat sahabatnya telah berubah. Ramapun turut meninggalkan tempat makan itu dengan raut wajah beringisan. Orang yang diharapkannya bisa membantu ternyata malah membuat dia kecewa. Seakan-akan dunia akan runtuh. Tidak ada lagi harapan buatnya mendapatkan uang untuk membayar lilitan utang sabu yang tak bisa ditebusnya. Hasil jualan sabunya pun habis untuk berfoya-foya.
Hari kian hari kian kelam. Nasib Rama makin tak tentu arah. Hidupnya pun tak pernah lagi setentram dulu. Kini dia dikejar-kejar oleh Beni dan temannya. Kostnya pun yang dulu dia tinggalkan bersama dengan barang-barangnya termasuk buku-buku yang sebelumnya menemani hari-harinya melangkah menyusuri jalan menuju kesuksesan. Kesuksesan yang dia yakini akan merubah garis hidupnya, garis hidup keluarganya dan garis kehidupan keturunannya kelak. Kini semua telah sirna. Bagaikan embun pagi yang mulai menguap meninggalkan dedaunan. Hilang dari peraduan.
Hujan sedang membabi buta membasuh kota Makassar. Langit kelabu untuk kisah yang kelam. Sebuah pertanda akhir hidup yang begitu sengsara. Kabar duka yang datang bersama petir dibawah langit gelap tertutup awan hitam yang terus menangis sepanjang waktu. Kasih tali persahaban itu kini sampai pada ujungnya. Sesosok pria yang diketahui bernama Rama ditemukan tewas. Tubuhnya terseret air sungai yang keruh sekeruh hati Rama di penghujung nafasnya. Terdapat luka lebam disekujur tubuhnya serupa luka yang telah dia sematkan ke dalam hati sahabatnya.
Fahmi hanya terdiam kaku ketika mendengar berita itu. Fahmi dihinggapi rasa bersalah. Bukan karena dia tidak mau membantu sahabatnya untuk meminjamkan uang sepuluh juta tapi Fahmi merasa bersalah karena tak bisa membantu sahabatnya untuk terus berjalan di jalan yang lurus. Rama yang sholeh, taat beribadah, cinta kepada keluarganya beberapa bulan terakhir seakan musnah dari muka bumi digantikan oleh sesosok Rama yang centang perenang. Pergaulan itu sudah membuat Rama jauh dari apa yang dulu dia miliki.
Mayat yang mulai membusuk itu kini tertidur panjang dalam ruang gelap nan sempit. Ditemani air hujan yang merembes melalui pori-poori tanah. Di balik papan sosok Ramah akan musnah bersama mimpi yang dulu pernah dia bangun. Fahmi dan keluarga Rama memang tidak mudah melupakan sosok Rama. Tapi waktu akan memudarkan kenangan itu hingga suatu saat nanti mereka tak mampu lagi mengingatnya bahkan lewat mimpi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar