Blog Ali AKbar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Kenangan Terakhir Ibu


Suasana kian riuh sesaat setelah acara pembekalan KKN ditutup. Akhirnya semua mendapat kepastian. Anggota kelompok, waktu keberangkatan, dan daerah penempatan semua sudah dibeberkan oleh pembina bahkan pengurus-pengurus di kecamatan sampe ke desa-desa semua sudah ditentukan. Meski daerah KKN lumayan jauh dari daerah asalku bahkan dari kampus tapi ini pengalaman baru buatku. Apalagi Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone katanya salah satu kecamatan tertinggal yang ada di Kabupaten Bone. 

Akupun membayangkan akan hidup selama dua bulan disana tanpa bisa berkomunikasi lewat telepon genggam seperti yang saya nikmati tiap hari, apalagi bisa menikmati yang namanya internet merupakan suatu hal yang sepertinya mustahil. Namun dibalik itu, melihat kecamatan yang masih belum banyak mendapat perkembangan itu menjadi nilai tambah karena pemandangannya yang pastinya masih asri dipenuhi banyak pepohonan, airnya langsung dari sumber mata air yang pasti terasa sangat segar, dan paling penting jauh dari polusi udara seperti halnya diperkotaan.

Aku langsung memberikan kabar kepada keluargaku mengenai keberankatan KKN yang tinggal menghitung hari. Namun raut wajahku yang tadinya ceria, senyum lebar yang terpancar dari wajahku yang menandakan begitu bahagianya diriku karena akan mendapatkan pengalaman yang menurut para senior-senior KKN adalah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan selama kuliah berubah seketika. Kabar dari kampung berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. Ibu masuk rumah sakit sejak kemarin. Serasa disambar petir disiang bolong, wajahku kian pasi dan tak tahu harus berbuat apa. Sepanjang perjalanan pulang ke kost, dipikiranku dipenuhi bayang-bayang keadaan ibu yang terbaring lemah di rumah sakit. Persiapan KKN-ku juga belum beres, peralatan-peralatan yang harus dibawa belum aku siapkan ditambah lagi lusa ada rapat internal sesama anggota KKN untuk membicarakan sistematis Pelaksanaan KKN selama dua bulan. Jika tidak hadir, aku akan banyak ketinggalan informasi dan pertemuan itu menurutku penting karena itulah langkah awal untuk lebih dekat dengan anggota yang satu posko denganku tapi keadaan ibuku juga sangat penting. Aku bertekad sebelum aku berangkat KKN aku harus menjenguk ibuku.

Besoknya, aku langsung bergegas untuk pulang ke Pinrang. Perjalanan dari Makassar ke Pinrang memakan waktu sekitar 4 jam. Perjalanan yang cukup melelahkan tapi demi seorang ibu perjalanan itu tidak ada artinya dibandingkan dengan jasa-jasanya kepadaku. Apalgi sekarang dia lagi membutuhkan sosok seorang anak disampingnya untuk merawatnya. Panah matahari kian terasa menandakan sudah tengah hari. Tak lama kemudian akupun tiba di rumah sakit. Seketika aku begegas meninggalkan mobil yang saya tumpangi menuju ke dalam rumah sakit. Di dalam ruang inap aku hanya terdiam melihat ibuku yang sedang tertidur. Pandanganku terfokus pada perutnya yang membuncit dikarenakan ada gangguan pada ususnya sehingga beliau tidak dapat buang air besar.

Ibuku memang sudah lama bolak balik rumah sakit. penyakit sebelumnya yang membuat dia tersiksa adalah terdapat bebatuan diginjalnya yang menyulitkannya untuk buang air kecil. Selain itu kadar gula darahnya yang tinggi juga menjadi penyebab lemahnya fisik beliau. Aku masih ingat waktu aku masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas ibuku harus menjalani operasi karena terdapat tumor di dalam kandungannya. Melihat riwayat penyakitnya aku semakin bertanya-tanya, kenapa harus dia yang mengalami semua itu? Dia terlalu rapuh untuk mendapatkan cobaan seberat itu.

Setelah beberapa menit aku duduk termenung menatap ibuku, beliau akhirnya terbangun. Ibuku langsung memintaku untuk merangkulnya. Seketika air mataku tertumpah, tangisannya makin meledak. Kesedihanku kian membubung tinggi. Aku dimintanya tuk menciumnya. Aku lantas mencium pipi kiri dan kanannya. Disela-sela tangisannya terucap kata-kata yang membuat tangisanku kian lepas. “lanasalaia anakku, jooka nakitaa onjo.” Yang artinya anakku sudah mau berangkat, dia tidak akan melihatku pergi. Kata-kata itu seakan jadi pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal yang tidak aku inginkan. Namun aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanya kata-kata biasa yang tidak berarti apa-apa. Kata-kata yang hanya spontan keluar dari bibirnya hanya karena dalam keadaan sedih. Aku tak mampu melakukan apa-apa buatnya. Aku lantas berpikir aku adalah anak yang tidak dapat membanggakan ibunya, anak yang tak beguna, anak yang tak bisa melakukan sesuatu untuk membuat orang tuanya terlihat bahagia. Aku hanya bisa mengucap kata sabar, Bu, sabar Bu. Otakku tak mampu memikirkan kata-kata lain selain kata sabar. Aku begitu naif, sungguh anak yang tak bisa diandalkan.

Keadaan sedih itu mulai berlalu, tangisannya kini sudah reda. Aku memanfaatkan waktu itu untuk berbincang-bincang mengenai keberangkatan KKN-ku. Matahari beralih menampakkan pemandangan yang begitu indah. Langit tampak jingga berpadu awan putih yang tampak membentuk pola-pola abstrak yang punya nilai seni tersendiri. Ku tatap awan dibalik jendela, imajinasiku mulai beraksi. Kulihat awan membentuk wajah ibuku sedang tersenyum melihatku. Tiba-tiba ayahku menegurku. Aku mulai bergegas membereskan barang-barangku dan segera siap-siap. Mengingat besok ada pertemuan dengan anggota KKN sekecamatanku, aku tak bisa menemani ibuku lama-lama di rumah sakit. Setelah shalat maghrib aku lantas berangkat ke Makassar. Entah apa yang ada dibenak kepalaku. Sepanjang perjalanan kata-kata yang terucap dari bibir ibuku saat kami berpelukan terus menghantui pikiranku. Tak henti-hentinya kata-kata itu terdengar seakan-akan ada beliau disampingku sedang membisikkan kata itu. Air mataku tak bisa ku bendung, terus mengalir sepanjang perjalanan. Untung saja aku hanya duduk sendiri dikursi bagian belakang, jadi tidak ada yang memperhatikanku.

Langit tampak cerah menjadi pertanda baik tuk menjalani kegiatan hari ini. Sebelum bersiap-siap berangkat ke kampus tak lupa aku menghubungi keluargaku. Alhamdulillah, keadaannya sudah lebih baik dibandingkan kemarin. Nyeri yang dirasakan ibuku mulai berkurang. Kabar yang cukup melegakan membuatku lebih semangat dalam situasi seperti ini. jam beker yang berada di meja samping tempat tidurku sudah menunjukkan pukul 08.05 WITa. Aku pun lekas bersiap-siap menghadiri pertemuan.

Pertemuan yang memakan waktu selama tiga jam menurutku sangat berarti, akupun mendapatkan banyak informasi tentang bagaimana keadaan di tempat KKN. Katanya hanya sebagian daerah yang belum dialiri listrik dan belum ada jaringan komunikasi. Awalnya aku tidak mempermasalahkan hal itu tapi untuk sekarang ini aku sangat membutuhkan jaringan komunikasi itu. Aku harus bisa memantau perkembangan ibuku saat aku berada di tempat KKN. Bahkan aku berencana untuk mengajukan perpindahan lokasi KKN di kampungku tapi itu sudah tidak mungkin karena rombongan KKN untuk Kabupaten Pinrang sudah berangkat kemarin. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan itu. Jalan yang diberikan Tuhan adalah jalan yang memang menurut-Nya baik meski kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Hari masih panjang, aku memutuskan untuk membeli beberapa perlengkapan yang akan dibawa ke lokasi KKN. Bersama beberapa teman sekelasku, aku menuju salah satu toko yang menjual banyak macam barang. Untungnya kebutuhan yang ingin kupersiapkan semua ada di toko itu. Jadi aku tak perlu repot-repot mencari ke toko-toko lain.

Jalan raya semakin padat, maklum sekarang sudah jam pulang kantor. Macet dimana-dimana ditambah lagi perut belum juga terisi dari tadi siang. Tenaga seakan sudah habis terkuras. Aku dan temanpun menuju salah satu tempat makan yang tak jauh dari toko tersebut. Mengingat ulang tahunku yang baru lewat satu minggu tidak ada salahnya aku merayakannya bersama mereka. Tahun ini aku tak banyak mengharapkan sesuatu di ulang tahunku, aku haya ingin apa yang akan aku kerjakan di usiaku yang sudah mencapai 21 tahun semua berjalan lancar. Tapi kado yang paling tak terduga adalah kondisi ibuku yang terkapar tak berdaya di rumah sakit. Kado yang tak pernah aku harapkan. Aku hanya ingin ibuku selalu berada di sampingku, apalagi sehabis KKN aku akan segera menyusun skripsi dan aku ingin ibu bisa mendampingiku di hari wisudaku nanti. Aku ingin tunjukkan kepada semua orang bahwa orang yang paling berjasa dalam pencapaianku selama ini adalah kedua orang tuaku. Aku hanya ingin itu, tidak lebih. Cukup ada ayah dan ibu disisiku saat aku meraih titel sarjanaku kelak.

Semua sudah beres, koper berisi pakaian dan peralatan lain sudah tertata rapi. Papan tulis kecil untuk keperluan disana juga sudah ada dan sudah diikatkan di printer agar membawanya tidak terlalu repot. Tas jinjing untuk keperluan mandi dan peralatan yang tak muat di dalam koper juga sudah disiapkan. Tinggal tas ransel yang berisi laptop yang belum dibereskan karena laptop masih aku pakai. Kamar juga sudah dibereskan agar nanti tidak berantakan apalagi bisa mengundang tikus selama ditinggalkan.

Minggu 24 Juni, pertanda tinggal sehari lagi aku berada di Makassar karena besok sudah berangkat ke lokasi KKN. Hari-hari terakhir aku kumpul bersama teman-teman yang memang masih ada di Makassar. Apalagi setelah KKN kita tidak akan lagi bertemu sesering dulu karena aku sudah tidak ada lagi kelas bersama mereka. Tiba-tiba telepon genggamku berdering, telepon dari kakakku. Seketika hatiku was-was, aku takut terjadi sesuatu yang tidak aku harapkan. Benar dugaanku. Ibuku akan dipindahkan ke ruang ICU dan aku diminta untuk segera ke Pinrang. Hatiku hancur saat itu juga mengingat besok adalah keberangkatan KKN-ku. Aku bingung mesti berbuat apa. Untung saja aku punya teman yang bisa memberikanku masukan. Segera aku menelepon pembinaku untuk menginformasikan pembatalan keberangkatanku besok. Untung saja disetujui olehnya. Setelah itu aku menelepon koordinator kecamatan dan desaku untuk meminta izin. Tak berpikir panjang lagi aku segera menuju ke terminal. Diperjalanan aku mendapat kabar kalau ibuku tidak jadi dipindahkan di ruang ICU dan sudah keluar dari rumah sakit.

Matahari sudah condong ke barat, aku pun akhirnya sampai di rumah. Keluargaku memilih untuk memulangkan ibuku karena mereka merasa tak ada perubahan. Apalagi menurut sepupuku yang bekerja dirumah sakit mengatakan sebaiknya ibuku dirawat saja di rumah karena pihak rumah sakit sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa. Di ruang ICU terbatas sedangkan ibuku butuh orang yang senantiasa siaga berada disampingnya. Sesampainya di rumah aku langsung menuju kamar tempat ibuku dibaringkan. Aku lantas mencium tangannya, air mataku kian deras mengalir. Dia tak mampu lagi membuka matanya. Meski kadang-kadang dia mengerang karena kesakitan. Aku perhatikan wajahnya yang tak lagi mampu tersenyum. Selang yang yang ada di mulutnya semakin membuatnya tak berdaya. “Tuhan, aku ingin ibuku sehat. Tuhan sembuhkan dia, aku tak mampu melihat dia seperti ini Tuhan.” Ucapku dalam hati.

Ibuku memang tak mampu lagi menatapku tapi aku tahu dia merasakan kesedihan yang kurasakan. Ibuku pun diberitahu kalau aku datang dan membatalkan berangkat KKN sampai keadaannya membaik. Namun dia tidak setuju dengan keputusan yang diambil keluargaku dan tidak memeritahu persoalan ini sebelumnya kepadanya. Setelah kami sekeluarga berembuk, akhirnya aku diminta untuk tetap berangkat besok. Pilihan itu merupakan pilihan yang paling bijak mengingat tempat KKN-ku tidak ada satupun anggota keluargaku yang mengetahui dimana letaknya, apalagi Kabupaten Bone merupakan kabupaten yang cukup luas. Lagian tidak ada kepastian kapan ibuku keadaannya akan membaik dan tidak mungkin ayahku akan meninggalkan ibuku dalam keadaan seperti ini hanya untuk mengantarku ke tempat KKN. Aku dirundung dilema yang teramat sangat. Aku tidak rela meninggalkan ibuku dalam keadaan seperti ini tapi KKN juga tidak bisa saya tinggalkan mengingat ini salah satu mata kuliah yang harus aku lalui. Aku berpikir untuk membatalkan program KKN-ku kali ini dan bisa mengulangnya dilain waktu, tapi hal itu tidak disetujui oleh keluargaku. Aku kembali masuk ke kamar ibuku. Aku duduk dihadapannya. Kucium tangannya dengan air mata yang memang sedari tadi tak henti-hentinya mengalir. aku menyesal kenapa waktu ibuku masih di dalam rumah sakit dan keadaannya belum separah ini aku tidak meluangkan banyak waktu bersamanya.

Langkah kakiku terasa berat tuk meninggalkan rumah tapi ini adalah amanah, amanah yang harus kujalani. Ibukupun seakan sudah merestuiku begitu pula dengan keluargaku yang sudah mencoba untuk merelakan keberangkatanku. Bertemu dengannya hari ini meskipun tak sampai tiga jam membuatku sudah bersyukur. Dalam perjalanan kembali ke Makassar tak henti-hentinya aku berdoa demi kesembuhan ibuku. Aku masih mengingat apa yang pernah aku tulis di dalam buku harianku bahwa suatu saat kelak setelah aku berhasil aku akan menjadikan ibuku ratu dalam istanaku. Aku tak akan membiarkan dia merasakan kekurangan sedikit apapapun. Aku akan menjadikan dia sosok wanita yang paling bahagia dalam hidupku.

Udara pagi masih terasa. Bunyi kendaraan yang lalu lalang didepan kostpun belum seramai biasanya. Aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. sebelum ibuku sakit seperti sekarang ini dia berjanji akan ke Makassar untuk menemaniku dan mengantarku ke tempat berkumpul sebelum berangkat ke lokasi. Namun semua tinggal harapan, semua seakan hanya sebuah mimpi. Dengan bentor aku menuju ke kampus. sesampainya di kampus aku hanya bisa terdiam melihat teman-teman yang lain datang bersama orang tuanya sedangkan aku, aku hanya datang seorang diri. Kebahagiaan mereka begitu lengkap sedangkan aku dipenuh rasa bersalah karena harus meninggalkan ibuku dalam keadaan yang tak berdaya. Tapi aku berusaha tegar, aku tak boleh menampakkan apa yang kurasakan kepada siapapun. Ini akan menjadi perjalanan tim bukan cuma tentang kepentinganku tapi untuk kepentingan bersama. Aku harus mampu membuang jauh-jauh raut wajah sedihku dihadapan mereka.

Perjalanan yang memakan waktu lebih dari empat jam membuat kami cukup lelah ditambah lagi harus melewati perjalanan yang berliku dan lumayan sempit. Tebing dan jurang yang menjadi pemandangan yang membuat adrenalin kian was-was terbentang disepanjang jalan. Ketika penyambutan mahasiswa KKN berlangsung ada perubahan rencana. Poskoku bertukar lokasi dengan posko induk. Satu jalan yang patut aku syukuri karena desa yang sekarang menjadi tempat lokasi KKN-ku merupakan desa paling dekat dengan jalan poros. Hanya butuh waktu kira-kira setengah jam untuk sampai ke jalan poros dan tak perlu melewati tanjakan yang cukup ekstrim. Jalannya pun cukup bagus ditambah terdapatnya jaringan telepon yang bisa memudahkanku berkomunikasi dengan keluargaku di Pinrang. Aku percaya Tuhan tidak akan mempersulit jalan suatu hamba yang Dia cintai.

Pemandangan yang tampak indah dari depan poskoku. Pohon kakao mendominasi pemandangan sekitar. Maklum daerah ini memang daerah yang cocok untuk berkebun. Suhu yang sangat dingin membuatku sedikit susah untuk beradaptasi. Jika di Makassar aku butuh kipas angin agar tidak kegerahan disini aku butuh selimut yang tebal, pakaian yang tebal agar tidak menggigil. Airnya memang sangat jernih. Langsung dari sumber mata air. Untuk mandi saja kami harus menunggu tengah hari agar tidak terasa terlalu dingin. Meskipun kata orang-orang disana mandi dipagi hari akan lebih baik. Jalan yang menanjak membuat kami sedikit kewalahan apalagi harus berpergian untuk survei lapangan dengan berjalan kaki.

Aku tidak pernah berhenti menghubungi keluargaku selama beberapa hari di tempat KKN. Setiap pagi aku selalu menyempatkan untuk menanyakan perkembangan ibuku. Ketika maghrib menjelang di hari ketiga aku berada di tempat KKN aku mendapat firasat yang aneh yang membuat aku begitu cemas. Saat di dalam kamar mandi suara dari bunyi serangga terdengar begitu nyaring seakan-akan serangga-serangga itu mengelilingi kamar mandi. Aku mencoba untuk menenangkan hatiku dengan menganggap bahwa itu wajar saja karena memang dibelakang posko adalah perkebunan. Meski begitu, entah mengapa aku tidak bisa merasa tenang. Dalam doaku seusai shalat maghrib aku tak henti-hentinya mendoakan keselamatan ibuku dan mengharapkan kesembuhannya. Air mataku yang berusaha aku tahan selama beberapa hari ini akhirnya keluar juga. Untung saja aku hanya sendiri di dalam kamar pada saat itu. pikiranku malam itu hanya tertuju pada ibuku. Aku membayangkan wajahnya ketika dia masih sehat.. Aku juga mengingat kesalahanku saat aku masih duduk dibangku sekolah yang membuat ibuku meneteskan air matanya yang aku yakini dosa terbesar dalam hidupku yang mungkin takkan pernah terampuni. setetes saja air mata ibu karena perbuatan anaknya akan membuat anaknya akan susah nendapatkan kebahagiaan akhiratnya apalagi kalau ribuan tetes seperti yang aku lakukan. Aku tidak bisa membayangkan betapa sengsaranya hidupku kelak. Namun hal itu tidak pernah membuatku putus asa, aku tetap berusaha mencoba memperbaiki kesalahanku diwaktu dulu dengan membahagiakan orang tuaku.

Pagi dihari kamis tak berbedah jauh dari hari-hari sebelumnya. Menikmati udara segar sambil duduk-duduk di depan pintu gerbang. Kebetulan ada tempat bersantai di sana. Aku sambil membuka sosial media, lewat salah satu akunku aku pun memposting beberapa foto. Saat aku membaca postingan-postingan dari teman-temanku di sosial media aku terpaku pada satu postingan. “Hujan deras melanda Pinrang.” Ucap salah satu akun. Hatiku tiba-tiba ketir-ketir. Memang dari dulu aku meyakini kalau ada hujan biasanya akan ada orang yang meninggal apalagi kalau hujannya kadang beberapa kali dalam sehari. Meski itu cuma kesimpulanku semata tapi aku meyakini akan ada sesuatu yang terjadi di Pinrang yang akan membuatku tidak nyaman. Seketika aku menhubungi keluargaku. Kata ayahku, ibuku belum ada kemajuan dan aku diminta untuk bersabar memang seperti inilah jalan yang dipilihkan Tuhan untuk kita. Hatiku sedikit tenang setelah mendengar kata ayahku.

Selang beberapa jam ada telepon dari sepupuku yang membuat hatiku porak-poranda. Ibuku telah meninggal. Ibuku telah pergi meninggalkanku disaat aku tidak berada di sampingnya. Aku begitu menyesal mengapa aku mengiyakan kemauan keluargaku untuk tetap berangkat KKN. Air mataku tak bisa lagi terbendung. Aku coba menenangkan diriku, lalu aku memutuskan untuk pulang ke Pinrang. Untung saja ada seseorang yang sedang menginap di posko untuk melakukan survei di desa tempatku KKN yang memiliki motor jadi aku bisa ke jalan poros dengan cepat. Dibonceng teman seposkoku aku langsung meninggalkan tempat KKN dengan berbekal dua pasang pakaian di dalam tas. Aku dilanda ketakutan, takut apabila tidak mendapat transportasi ke Pinrang. Apalagi dari tempatku ke terminal yang ada di kota memakan waktu dua jam lebih. Tuhan sekali lagi menunjukkan kuasanya. Tak lama sesampainya kami di jalan poros lewatlah bus yang akan ke Pinrang.

Di dalam bus aku masih tak percaya ibuku telah pergi. Selama ini aku memang sangat dekat dengan ibuku. Kadang, kalau aku sedang libur kuliah aku lebih memilih tidur dengan ibuku. Aku begitu merasa hangat saat berada dalam pelukannya. Apalagi saat aku sakit, tubuhku diserang demam dan menggigil yang membuatku tidak bisa tidur. Rangkulannya saat itu membuat aku begitu nyaman dan membuatku bisa kembali tertidur. Ketika harus balik ke Makassar karena perkuliahan akan kembali berlangsung ibuku seakan begitu khawatir dengan keadaanku sehingga dia meminta ayahku untuk menemakiku ke Makassar. Ibu memang sangat peduli terhadap anak-anaknya, tanpa kenal lelah dia selalu bekerja sepanjang hari. Kasih sayangnya tak pernah habis untuk dicurahkan kepada sang anak.

Perjalanan yang cukup panjang sekitar lima jam aku berada di bus akhirnya tiba juga di Pinrang. Di pertigaan aku telah ditunggu oleh seppuku, memang bus itu tidak melewati jalur ke rumahku. Tiba di rumah, orang-orang terlihat ramai. aku yang sedari tadi menahan air mataku tak mampu lagi menahannya. Aku langsung tersungkuk lemah dihadapan ayahku. Aku disambut dengan tangisan dari keluargaku. Wajahnya yang pucat, kulitnya yang dingin sedingin es, tubuhnya yang kaku. Rasanya aku ingin teriak meluapkan segala rasa yang berkecamuk dalam batinku. Ciuman dan pelukan yang kuberikan untuknya saat di rumah sakit ternyata menjadi ciuman dan pelukan terakhirku dengannya.

Aku benar-benar tak rela ibuku pergi meninggalkanku tapi melihat keadaannya yang memang sangat tersiksa dengan sakitnya aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang aku sesalkan hanyalah aku belum bisa membahagiakan dia. Aku belum bisa mewujudkan apa yang telah aku cita-citakan untuknya. Aku belum mampu mempersembahkan prestasi yang gemilang buatnya. Aku begitu menyesal disaat-saat terakhirnya aku tidak berda di sampingnya. Aku belum sempat bilang aku sangat sayang sama ibu. Aku tidak berada disampingnya membantunya melafalkan kalimat lailahaillallah.

Kini hidupku tanpa kehadirannya disisiku membuatku kadang sangat kesepian. Kadang aku sangat membutuhkan kehadirannya, kadang aku sangat membutuhkan hangatnya pelukannya. kadang aku iri melihat teman-teman di kost dikunjugi ibu mereka. Tuhan aku tahu ini jalan yang telah Engkau takdirkan buatku. aku berharap Tuhan menempatkan ibuku ditempat paling indah disurga. Aku berharap ibu ada diantara bintang-bintang yang tampak terang mewarnai malam-malam yang memantau aku dikala sedang terlelap. Ibu terima kasih atas segala pengorbananmu yang tanpa lelah memberikan cahaya cinta tanpa batas untukku, terima kasih atas putih kasihmu yang tiada henti tercurah hingga nafas terakhirmu. Ada berjuta rasa sayang yang menggema disetiap penjuru hatiku yang tidak akan pernah mampu terhambur lewat getar-getar bibirku. Semua cerita tentangmu kan kutuliskan tebal-tebal dalam lembar-lembar benakku, kutuliskan dengan tinta melati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar