Blog Ali AKbar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

Berbaur Seiring Senada



Matahari berayun tampak jingga
Senda gurau masih tersiar menyeruak dibalik derau jalanan kota
Sesekali terdengar cacian dari bibir penghuni rumah pondok
Melaknat dan mengutuk penguasa terang berhati batu


Si berhati tungau masih saja merontah
Berteriak terpenjara dalam dinding berlapis tiga
Pikirannya dipenuhi bayang-bayang gentayangan
Menguasai sudut dinding kamar berpetak miliknya

Gelap masih tampak dari lantai dua
Hanya lilin parafin yang mulai habis termakan waktu  menerangi ruang itu
Tak setara dengan rumah kolong bagian dari pemondokan
Tampak terang berkilauan bermandikan cahaya lampu pijar
Meski sudah menanggung derita masih jua disalahkan

Untuk kepentingan siapa mereka sengsara?
Pantaskah mereka menanggung semua itu?
Penyempitan arti kepentingan umum pun terasa sangat menyiksa
Bukankah milik mereka untuk kepentingan pribadinya?
Namun, dimana arti kepentingan umum itu?
Perkataan itu yang kadang kala berkumandang begitu nyaring
Pernyataan yang selalu terdengar indah dengan kontur intonasi yang begitu apik
Masih dan mungkin akan terus menjadi tanda tanya besar

Hiruk pikuk gemerlap malam panjang
Penghuni pondok mulai berkumpul di ruang makan
Tampak beberapa orang menguasai pembicaraan
Mereka bukanlah si berat bibir
Berusaha menjajal kemampuan, mengejek dan mencibir
Sesekali merayu menggoda si pendiam agar yang dicibir makin terdiam
Sedangkan si tebal bibir lalu lalang menghentakkan langkahnya

Tingkah itu memang seakan telah menjadi budaya di pemondokan
Mencemooh dan mengejek si lembut tulang
Hanya berharap tercipta jalinan keakraban kian erat
Karena itu hanyalah sebuah kelakar
Untuk si lembut tulang yang elok tak terbuai amarah

Rumah pondok itu belum jua sepi hingga malam buta
Di temani seberkas cahaya lilin mereka masih duduk manis diperaduan
Mengindahkan petuah dari yang telah mengenyam banyak pengalaman
Sebagai asupan bekal hidup masa depan
Sedangkan si ringan bibir masih saja asyik bersenda gurau di bilik bertirai oranye
Mempergunjingkan yang tak lazim dipikirannya
Namun itu semua tak sekedar jual bicara

Sepenggalah matahari naik, mereka kembali berbaur
Mencabik si ikan buyan dan mengoyakkan perutnya
Mengolah menjadikan santapan pengganjal perut
Agar memiliki tenaga tuk mengarungi kerasnya dunia kampus

Bukan sekali dia menyusuri setiap ruang
Memohon mengharap dikabulkan hasratnya
Serasa tak peduli dengan ketidak relaan yang diminta
Memikirkan diri sendiri acuh pada yang lain
Menegahkan yang dipinta hidup dalam serasa bayang-bayang
Hingga berkehendak remas bibir agar dia tak lagi datang menghampiri

Semua berbaur jadi satu
Ada si kurus mering, ada si tambun
Ada si tukang segan, ada yang berlagak getol
Hidup dalam satu atap satu persoalan
Gelap dalam terang menjadi bagian yang mesti dilalui
Mesti kadang berkecamuk berkobar-kobar namun hasilnya tak jua tampak

Hidup dalam beragam perbedaan                                              
Kadang mesti kencong bibir meyaksikan miliknya sirna dari peraduan
Kadang hati miris mengindahkan ulah mereka yang kerap melakukan serong kata
Pura-pura tak tahu, pura-pura berbuat dalam keterpaksaan
Kadang pula hati risau termakan kata si pengibul
Mengajak berbuat, agar dia tenggelam aman dari kenistaan
Bersembunyi, menjadikan yang terikut bualan jadi umpan peluru

Namun, semua harus melapangkan hati
Mengikhlaskan bertahan meski kadang didera derita
Bertahan melawan meski kadang tertawan
Semua itu diperjuangkan tuk mencapai kebahagiaan hidup
Mengejar cita-cita mulia tuk menyongsong keberhasilan
Semua itu berbaur seiring senada di rumah berpetak, berdinding bilik, beratap rumbia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar