Blog Ali AKbar. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Post Icon

CINTAKU TAK SEKOKOH PATUNG LASINRANG DAN TAK SEANARKIS TAWURAN DI MAKASSAR



Hingga sinar sang raja hari kian menerawang, melenyapkan redup cahaya rembulan. Aku masih terdiam mematung bersandarkan dinding rapuh disudut kamar berpetakan 3 x 4 meter. Masih saja kumemikirkan kejadian kemarin. Betapa berdosanya diriku ini, membuat sepasang mata itu terus bercucuran air mata. Telah kulukiskan kepedihan yang amat mendalam padanya. Tak dinyana aku telah berbuat keji pada orang yang telah kujadikan dermaga tempat cinta di dalam hatiku berlabuh.

Riuh deru angin makin menyesakkan batinku. Hingga bayangan tentang perjalanan kisah cinta yang terajut indah bersamanya pun seakan gentayangan dipikiranku. Kisah cinta yang berawal saat aku masih duduk di bangku kelas 2 sekolah menengah pertama. Entah perasaan itu datang dari mana, tiba-tiba saja muncul dan tumbuh subur dalam hatiku. Tak terduga, wanita yang tampak biasa-biasa saja olehku mampu merebut hatiku hingga terjatuh kedalam kubangan cinta yang begitu luas yang berisikan bulir-bulir asmara yang membuatku berguling-guling terperangkap oleh rasa rindu ketika tak melihatnya atau sekedar mendengar suaranya. Semakin aku berusaha terbangun maka semakin aku jauh terperosok dalam perasaan cinta kasih yang begitu hebatnya.
Mula-mula rasa malu untuk menyatakan cinta yang kurasakan terhadapnya begitu besar tertanam dalam diriku, hingga memperhatikannya dari jauh pun aku lakukan agar dia tak merasa risih padaku. Sesekali aku curi-curi pandang saat pelajaran berlangsung. Aku pun tak berharap banyak, kuyakini dalam diriku ini bahwa apa yang aku rasakan saat ini hanya cinta monyet yang lambat laun akan pudar seiring berakhirnya masa SMP. Setelah itu akan hilang terbang tinggi mengangkasa menembus batas imajinasiku, akan terhanyut terbawa aliran masa lalu hingga tenggelam terbenam jauh ke dalam pusat kesibukanku tuk menata jalan masa depan.
Namun entah mengapa, hingga akhir semester satu saat aku duduk di bangku SMA perasaan cinta itu tak kunjung layu termakan waktu. Padahal dengan memilih menjauh darinya dengan tidak satu sekolah yang sama lagi dengannya membuatku yakin akan mampu membenamkan rasa cinta itu. Tetapi aku seakan-akan tertawan oleh rasa rindu yang kian mendalam. Aku pun sudah merasa jenuh dipermainkan oleh prinsip dan pilihanku tuk bertahan menyembunyikan perasaanku yang begitu menginginkan dirinya jatuh dipelukanku. Hingga akhirnya aku sampai di ujung kesabaran dan akupun memberanikan diri bangkit berlari merenggut bayang-bayang ilusi dan membuatnya menjadi nyata.
Gerbang menuju jalan cinta seakan terbuka luas. Teman kelasku saat SMP akan mengadakan reunian saat libur semester. Hari itu akan aku jadikan momen penting dalam perjalanan cintaku karena tepat dihari itu aku akan memberanikan diri meluapkan isi hatiku terhadap wanita yang telah berulang kali hadir dan menari-nari indah dalam mimpi di tidur lelapku.
Sebelum berangkat ke tempat reunian, paginya aku mengurung diri di kamar. Bukan karena aku lagi ada masalah tetapi aku berkonsentrasi merangkai kata nan indah hingga tercipta satu puisi cinta yang mampu menggambarkan perasaanku yang telah lama membeku di dasar palung hatiku. Kata demi kata kuurai, bait demi bait kurangkai hingga tercipta bahasa yang begitu apik yang kuyakini mampu membuat dinding hatinya robek hingga panah cintaku akan dengan mudah menembusnya menjalar memenuhi setiap inci dalam ruang-ruang hatinya.
Malam pun tiba, waktu yang kunanti-nantikan akhirnya begitu jelas terpampang di depan mata. Kulebarkan langkahku agar aku mampu memburu waktu untuk cepat sampai ditempat reunian. Sedikit gerimis namun tak menyurutkan langkahku, aku terus berjalan menyusuri sudut kota Pinrang yang mulai tampak ramai dipadati kendaraan yang lalu lalang memenuhi pusat kota.
Jam dinding yang tertempel di dinding ruang tamu sudah menunjukkan Pukul 20.03 WITa, teman-teman pun sudah memenuhi ruangan meski ada beberapa teman yang berhalangan hadir karena ada urusan lain yang lebih penting. Kulihat wanita yang sedang berkumpul dan bercanda ria bersama teman-teman yang lain tampak anggun dengan balutan baju berwarna Ungu. Rambutnya yang terurai panjang sebahu menambah indah parasnya yang tampak putih merona dengan lesung pipi yang begitu manis membuat jantungku berdegup kencang. Seakan aliran darahku mengalir melewati nadiku begitu cepatnya membuat jantungku memompa dengan tak beraturan. Nafasku pun seakan memburu, tak terhelakan tak terkendali. Mataku kian tak terkekang tak mampu berkedip, tak kuasa memalingkan pandanganku dari sosok wanita sempurna pujaanku yang berdiri di sudut siku-siku dari hadapanku.
Acara reunian kian berlalu, berbagai susunan acara terlaksana dengan begitu menarik dan mengasyikkan. Canda tawa mewarnai acara reunian saat kita mengenang masa-masa jail saat SMP, namun tangis dan rasa sendu tak terelakkan saat mengenang salah satu teman yang meninggal dunia akibat mengalami kecelakan. Reunian kali ini sangat berkesan. Kami pun menyempatkan untuk saling tukar nomor telepon agar mudah untuk saling berkomonikasi.
Acara reunian pun berakhir, teman-teman mulai pamit satu persatu. Aku tak mau melewatkan momen yang paling kutunggu-tunggu. Dengan hati yang berdebar-debar aku memberanikan diri untuk menghampirinya dang menghalangi langkahnya. “Hei, apa kabar?” Tanyaku berbasa-basi. “Baik.” Jawabnya singkat. “Oh ya, ak..a..aku mau ngo..mong sebentar, boleh nggak?” tanyaku terbata. “Memangnya mau ngomong apa Rio sampai-sampai gugup begitu?” dia menatapku dengan tatapan tajam seakan berusaha menerka dan menerawang ke dalam pikiranku untuk mencari tahu apa yang akan kusampaikan padanya.
Aku tak mau malam ini berlalu begitu saja sehingga aku memberanikan diri menyampaikan segala rasa yang aku pendam selama ini.  Dengan menghela nafas yang begitu panjang aku mulai mengutarakannya. “Mungkin ini sudah terlambat, tapi aku tak mampu lagi untuk menahan diri menyembunyikan apa yang aku rasakan selama ini. Sejak kita kelas 2 SMP sebenarnya aku mulai ada rasa sama kamu. Awalnya aku yakin bahwa rasa itu tak akan bertahan lama. Rasa itu muncul hanya karena kita sering kerja tugas bareng dan jalan bareng ya sebatas teman sekolah saja. Dan aku pikir itu semua akan hilang seiring berkurangnya frekuensi pertemuan kita. Tapi aku salah, cinta itu semakin tumbuh dalam hatiku. Hingga hari-hariku disesaki rasa rindu yang teramat dalam. Wajahmu tak henti-hentinya hadir membayang-bayangiku dilamunanku dan di dalam tidurku. Aku pikir inilah saat yang tepat untuk menyampaikan rasa itu. Aku tak berharap banyak padamu. Yang aku inginkan hanyalah kamu tahu apa yang aku rasakan karena dengan kamu tahu rasanya aku tak perlu lagi memendam rasa itu terkubur jauh dalam palung hatiku. Dan jika kamu berkenan mau menerima cintaku itu hanya sebuah bonus buatku. Oh iya aku mau kasih kamu sebuah surat yang aku persembahkan hanya untukmu. Surat ini berisi ungkapan perasaanku yang begitu mendalam terhadapmu. Surat ini nanti kamu baca setelah kamu sampai di rumah ya. Dan jika kamu menerima permintaanku yang ada pada surat ini kamu cukup meneleponku.” Tuturku panjang lebar sambil memberikannya sebuah surat yang berisi puisi yang aku tulis sebelum berangkat ke acara reunian.
Adinda wanita yang kupuja itu hanya terdiam menatapku. Mungkin dia tak menyangka apa yang aku sampaikan padanya. Aku pun berlalu tanpa permisi dengan perasaan yang tak menentu. Disepanjang perjalanan aku terus memikirkan kejadian tadi. “Apakah aku telah melakukannya dengan baik atau aku malah mengacaukan semua? Apa dia akan membenciku nantinya? Apa dia masih mau bertemu aku lagi?” Begitu banyak pertanyaan yang tertera dalam benakku, hingga dadaku kembali terasa sesak.
****
Malam panjang diselimuti awan hitam, bintang tak tampak meski hanya satu.  Sesampainya di rumah, Adinda meletakkan surat yang terbungkus amplop berwarna biru yang didepannya tertulis Untuk Adinda Makhluk Tuhan Penakluk Hatiku. Dengan pandangan penuh keraguan Adinda terus memandangi surat itu. Hingga malam makin larut, hujan pun makin deras membasahi kota Pinrang. Adinda mulai mengambil inisiatif untuk membaca surat itu. Dengan hati penuh penasaran Adinda membaca dengan cermat tiap kata yang tertera dalam surat itu. Surat yang berisikan puisi cintaku untuknya.
Diri ini tergeletak tak sadarkan diri
Terbius pesona ayu paras bidadari dunia
Terbuai, terlena akan belaian kasih sayang darimu
Menyilaukan, melenyapkan seraya menghempaskan duri-duri derita

Pencinta, hadir dikala hujan telah lenyap
Bersama pelangi mewarnai kota Pinrang berseri
Tersadar, bangkit penuh gairah
Di bawa pohon penitian ku bisikkan dengan lembut kata cinta
Penuh penghayatan, merasakan rasa bahagia hingga ke dasar hati

Sang pencinta datang menebar kebahagian
Merayu gadis jelita yang pipinya merah merona
Berbalutkan busana anggun menutupi mahkotanya
Membentengi diri dari serangan serdadu kumbang

Akulah sang pencinta
Mengasihimu teramat dalam
Mencinta dengan segenap rasa kasihku
Mempersembahkan selumbung mayang hanya untukmu
Semua kuberikan padamu, hanya dirimu
Karena aku mengagumimu, mencintamu segenap hatiku.....

Hari ini kuberusaha mengerahkan jiwaku
Menguntai rangkaian kata tuk utarakan rasa cintaku padamu
Cinta yang tertanam jauh sejak kebersamaan itu
Cinta yang telah terpendam lama tertawan oleh rasa malu
Akankah dirimu sudi merajut cinta kasih denganku??
Apakah engkau berkenan megarungi lautan asmara bersamaku??
Kan kuhadirkan kedamaian surgawi hanya untukmu, pujaan hatiku...
*****
Dalam sepi aku terus menunggu, menanti jawaban dari dirinya. Kini hampir sebulan sejak pertemuanku dengannya, namun hingga kini belum jua ada jawaban. Aku semakin tertekan, tertawan oleh rasa penasaran yang begitu besar. Rasa itu mampu mengalahkan rasa rinduku yang telah kupendam sekian lama. Aku tak mau lagi berharap, seperti kataku malam itu akan kuikhlaskan segala yang terjadi terhadap perasaanku. Yang terperting aku telah berhasil mengutarakan rasa cinta yang selama ini kusembunyikan dari siapapun.
Aktivitas sekolah kembali kulalui. Seperti hari-hari biasanya tidak ada yang spesial yang kurasakan di sekolah. Bahkan aku hampir jenuh tak ada selera untuk melanjutkan semua itu. Namun karena harapan orangtuaku sehingga aku bersaha bangkit melepas semua rantai kemalasan yang selama ini melilit semangatku. Berusaha memberikan yang terbaik, mempersembahkan nilai-nilai yang mampu memberikanku peringkat di dalam kelas.
Seusai pelajaran kedua berlangsung, bel isitrahat pun berbunyi. Akupun bergegas meninggalkan ruangan menuju kantin. Tiba-tiba hpku berdering. Tak disangka-sangka itu nomor Adinda. Aku hanya terdiam menatap hp itu. Berulang kali Adinda mencoba menghubungiku, namun sekalipun tak pernah aku jawab. Aku seakan-akan dibelenggu rasa khawatir yang terlalu dalam. Aku merasa tak sanggup menerima hal buruk yang akan terjadi. Akhirnya panggilan dari Adinda pun terhenti. Meski rasa penyesalan muncul dari dalam hati tapi aku merasa itu yang terbaik. Rasanya aku tak siap mendengar jawaban pahit yang akan Adinda ucapkan. Akupun bergegas terburu-buru meninggalkan kelas.
Bel kembali berbunyi. Itu tandanya pelajaran akan kembali dilanjutkan. Aku mengambil hpku yang kusimpan dilaci bangkuku. Kulihat ada sebah sms dari nomor yang sama yang tadi menelepon. aku tak mau membacanya, kubiarkan begitu saja dan hp itu langsung aku masukkan ke dalam tas. Sepanjang pelajaran berlangsung aku tak pernah memperhatikan apa yang disampaikan guruku. Aku terbawa lamunan dan terus menerka-nerka apa yang akan disampaikan Adinda.
Pelajaran pun berakhir, aku langsung bergegas memburu waktu menuju rumah. Sesampainya di rumah aku langsung mengambil hp yang kusimpan di dalam tas. Sembari berbaring di atas kasur aku menatap layar hpku. Dengan pelan aku membuka sms dari Adinda.
“Maaf aku baru bisa kasih jawabannya sekarang. Aku berharap kamu tak melupakan malam itu. Aku sangat menghargai perasaanmu. Tapi aku tidak bisa memberikanmu jawaban dalam waktu singkat. Banyak hal yang mesti aku pikirkan dan pertimbangkan. Aku belum pernah pacaran, aku takut merasakan kegagalan yang kata orang bisa mendatangkan derita yang teramat dalam. Namun hari ini aku memutuskan untuk mencoba membuka hatiku menerima cintamu. Tapi ada hal yang aku inginkan darimu, aku ingin kau membimbingku melewati jembatan cinta menuju kebahagiaan nirwana. Aku berharap kamu akan selalu menjaga hangatnya cintamu terhadapku meski hidup ini didera derita yang berusaha mengoyakkan dan membekukan jalinan cinta yang akan kita rajut. Jika kamu berkenan mengabulkan keinginanku maka akupun rela menerima cintamu padaku dan aku bersedia membina hubungan tali cinta kasih bersamamu.”
Sms yang begitu panjang darinya membuatku merasa terbang tinggi di atas awan hingga kugapai langit ketujuh. Perasaanku yang selama ini terperndam akhirnya terbalaskan jua. Akupun langsung membalas smsnya. “Aku terima keinginanmu. Aku akan mempersembahkan cinta yang begitu kokoh melebihi kokohnya patung Adipura dan patung Pahlawan Lasinrang yang terpasang di jalan poros Kota Pinrang. Akan ku jaga cintaku dari segala rintangan apapun. Kan kubuat cintaku seperkasa Pahlawan Lasinrang dalam membela dan melepaskan bumi Lasinrang dari kawanan penjajah. Kan kubuatkan istana cinta di tengah Lapangan Lasinrang agar mereka semua tahu betapa agungnya cintaku. Itu janjiku padamu, janji setia dalam menjalin ikatan cinta bersamamu pujaanku. Janji yang tidak akan pernah kuingkari walau sekuat apapun badai datang menerpa.
Hari-hariku terasa begitu indah. Tiada hari tanpa bersamanya. Jikapun tak bisa bertemu komunikasi akan selalu terjalin. Hampir setiap pulang sekolah aku menjemput Adinda. Sebelum aku mengantar pulang ke rumahnya, biasanya kami singgah di tempat makan  yang ada dikota Pinrang. Tempat favorit kami adalah warung nasu palekko dipinggir jalan poros Pinrang. Dan di hari Minggu kami jalan-jalan di temapat wisata yang ada di Kota Pinrang seperti Permandian air panas, Bendungan Benteng, Lemo Susu, Pantai Kanipang, atau jalan-jalan sambil bakar-bakar ikan di Wakka. Hari-hari yang menenangkan jiwa, membuatku seakan berada di surga.
Masa SMA pun berakhir namun cinta kami masih tetap seperti dulu, membara penuh gairah. Cinta yang kuyakini tidak akan pernah surut termakan waktu. Cinta yang tetap bersemi dan menjadi penyemangatku menjalani masa kuliah di jurusan Teknologi Informasi dan Komunikasi di salah satu Universitas di Makassar dan Adinda melanjutkan sekolahnya di Jurusan Matematika di Universitas yang sama denganku. Di semester awal kuliah memang sangat melelahkan, tugas tak bosan-bosannya datang antri menghampiri kami. Namun itu tak jadi penghalang buatku untuk tetap menemui Adinda. Disela-sela kuliah aku menyempatkan diri mengajak Adinda mengitari kota Makassar. Mulai dari Pantai Losari lalu Bioskop 21 sampai ke Trans Studio. Selain itu aku pernah mengajak Adinda berwisata di pulau Samalona. Pulau dengan pasir putih yang begitu indah yang mampu menghadirkan keromantisan bagi pasangan yang berkunjung.
Selama kuliah di Makassar begitu banyak kenangan yang tercipta dan tak satupun rasa derita yang terselip mewarnai kisah cinta kami. Dengan saling pengertian dan sikap mau mengalah yang selama ini kami tanamkan untuk menjaga kesuburan cinta kami mampu menghalangi perselisihan yang bisa saja mengoyak-ngoyak hubungan kami. Hingga akhirnya Adinda meraih gelar sarjananya sedangkan aku masih tertinggal jauh diawang-awang. Memang kuliahku begitu rumit, bukan hanya tantangan dari setiap mata kuliah namun juga tantangan dan rintangan yang dihadirkan oleh keadaan kampus. Meski Adinda tiada henti menyemangati untuk melaju mengejar ketertinggalanku namun pasung derita kian menerkamku, membekukan semangatku hingga ku seakan mematung.
Sejak awal kuliah aku memang sudah diperkenalkan tawuran dan unjuk rasa oleh senior-seniorku. Tiada pilihan yang mesti diambil selain harus ikut serta di dalamnya. Jika tidak, senior akan ringan tangan menyiksa kami. Menyerang, berada di baris depan jadi rutinitas saat perang berlangsung. Mata harus jeli dan tetap fokus agar batu-batu dan busur yang dilemparkan lawan tak mengenai kami. selain itu tangan mesti bergerak cepat meraih batu dan menyiapkan tenaga untuk membalas lemparan mereka. Kalau lecet sedikit terkena lemparan batu bagi kami itu hal yang biasa. Aku dan teman-teman seakan-akan membabi buta menyerang tanpa mengetahui biang pemasalahan.
Setiap kali tawuran terjadi, hati Adinda selalu miris. Ketakutannya akan ancaman keselamatanku kadang kala membuatnya lemas tak berdaya. Namun, dia tak mampu berbuat apa-apa. Dia berusaha mengerti keadaanku. Begitu halnya saat aku turun ke jalan unjuk rasa berkoar-koar menyampaikan inspirasi rakyat. Membela mereka yang tetindas atas putusan dan aturan penguasa. Kadang kala berakhir ricuh. Saling lempar batu dengan aparat seakan jadi hal yang biasa jika apa yang kami sampaikan tak dihiraukan.
Adinda wanita yang berhati mulia mampu menerima segala kekuranganku dan selalu ada menyemangatiku. Dia tak pernah mengeluh atas apa yang kulakukan. Hingga masalah baru kembali muncul.  Bagai disambar petir disiang bolong, petaka muncul dengan tiba-tiba. Membuatku seakan terjatuh dari singgasanaku, terperosok ke lubang derita.
Dengan raut wajah murung, matanya memerah hampir membengkak menahan tangis, Adinda datang menemuiku dipondokan. Adinda masih memakai baju dinasnya itu tandanya ada sesuatu hal yang sangat penting yang ingin dia sampaikan. Akupun bergegas menghampirinya. aku menggandeng tangannya seraya mengantar menuju  ruang pribadiku. Kupersilakan dia duduk dan aku mengambilkan segelas air. “Maafkan aku Rio. Bukannya aku ingin memaksakan kehendakku tapi aku tak punya pilihan lain. Orangtuaku memintaku untuk menerima pinangan dari lelaki lain jika seandainya kamu tak segera melamarku. Tolong Rio. Ini untuk masa depanku dan masa depanmu. Aku tak ingin cinta yang kita rajut selama ini hancur lebur begitu saja. Jadi aku mohon Rio, kamu segera melamarku. Karena cuma kamu yang aku yakini mampu membahagiakanku.” Ujar Adinda dengan linangan air mata yang terus mengalir membasahi pipinya. “Aku minta waktu ya Din. Aku mesti memikirkan ini dan membicarakannya juga dengan keluargaku. Ini menyangkut masa depan kita. Jadi aku tidak boleh tergesa-gesa. Tolong beri aku waktu.” Jawabku dengan risau. “Tapi mohon Rio jangan lama-lama.” Ucap Adinda. “Iya akan aku usahakan” tuturku. Adindapun langsung pamit meninggalkanku dengan hati yang tak menentu.
Lima hari telah berlalu, ini merupakan hari yang begitu lama bagi kami tak saling mengabari. Akupun sudah memikirkan dengan matang masalah kami. keputusanku sepertinya keputusan yang terbaik yang mesti aku ambil. Aku tak hanya memikirkan diriku tapi juga kebahagiaan dan masa depan  Adinda. Dengan penuh keyakinan aku menjemput Adinda di pondokannya. Kuajak dia ke Tanjung Bayang. Kupilih balai-balai yang lumayan sepi. Adinda duduk di pojok kanan balai-balai sedangkan aku duduk menghadap Adinda.
“Adinda Maafkan aku. Dengan seribu penyesalan dalam diriku. Hatiku seakan-akan dicambuk saat kau hadir menyampaikan hal itu. Rasanya begitu sakit. Hatiku sesak dibuatnya. Dan aku sudah memikirkan hal ini matang-matang. Aku tak mampu lagi melanjutkan hubungan kita. Bukannya aku tak sayang lagi sama kamu tapi aku memikirkan kebahagiaanmu Adinda. Pilihan orangtuamu pasti yang terbaik buatmu. Aku yakin dia bisa membahagiakanmu, bisa menghidupimu, memberikanmu jaminan kehidupan yang layak.”
“Aku butuh kamu Rio. Aku cuma bisa bahagia jika hidup bersamamu. Aku yakin kok suatu hari nanti kamu mendapatkan pekerjaan yang bisa menghidupi kehidupanmu dan kehidupanku. Lagian sekarang kamu tinggal menyelesaikan tugas Akhirmu, setelah itu kamu pasti dapat pekerjaan Rio. Tolong Rio pikirkan baik-baik demi cinta kita.”
“Aku tidak yakin bisa menyelesaikan tugas akhirku dalam waktu cepat. Lagian tidak ada jaminan buatku setelah lulus nanti aku langsung mendapatkan pekerjaan. Semua butuh waktu. Sedangkan masalahmu itu sudah mendesak Adinda. Biarkan cintamu terhadapku tenggelam jauh di dasar hatimu.”
“Tapi aku tidak mampu Rio. Aku tidak bisa melakukannya.”
“Dulu aku bisa melakukannya memendam cinta itu. Jadi aku yakin kamu juga bisa melakukannya. Jika kamu tidak bisa melakukannya untuk dirimu lakukanlah untuk diriku. Karena dengan begitu aku akan merasa bahagia.”
“kenapa kamu lemah Rio? Mana cintamu yang kau yakini mampu mengalahkan kokohnya patung Lasinrang? Mana cintamu yang kau sebut-sebut mampu membawaku ke dalam surga cinta? Aku berharap Rio kau mampu memperjuangkan cintamu seperti kau memperjuangkan hak rakyat. Kau rela berpanas-panas di bawah terik matahari, kau rela terkena gas air mata. Aku ingin melihat kekuatanmu menghadapi masalah ini sekuat kau menahan sakit saat kau terkena lemparan batu saat tawuran.”
“Maaf Dinda, aku terlalu memberikanmu harapan yang terlalu tinggi. Dengan adanya masalah ini aku sadar bahwa cintaku tak sehebat itu. Citaku tak sekokoh patung lasinrang, tak seanarkis tawuran yang kulakukan selama ini. Cintaku ternyata tak punya nyali sedikitpun untuk berjuang menyelamatkan hubungan kita.”
“Aku kecewa sama kamu Rio. Aku telah salah berharap lebih padamu. ternyata cinta yang selama ini kau hadirkan dalam hidupku hanyalah sebuah ilusi. Sungguh Rio, aku kecewa sama kamu.” Adinda pun lantas pergi dengan linangan air mata yang terus membanjiri wajah ayunya.
Aku terus dirundung rasa bersalah. Aku tak mampu mempertahankan cinta yang selama ini aku rasakan. Mengapa keberanianku untuk mengutarakan rasa cintaku pada Adinda dulu tak mampu hadir dalam diriku untuk memberanikan diri menyelamatkan cinta ini. Aku malah membiarkannya berakhir begitu saja. Tapi semua keputusan telah kuambil. Aku tak mampu lagi merubahnya. Kubiarkan rasa bersalahku terus menghantui hatiku.
****


Riuh gemericik air hujan pagi bagai pertanda bahwa hatinya seakan menjerit, meraung-raung merasakan kepedihan yang teramat dalam. Derasnya hujan ini pulalah menyadarkanku dari lamunan panjangku. Meski hatiku terasa sakit, aku mencoba untuk merelakan semua yang terjadi. Keputusan yang telah kuambil, itu semua karena aku ingin membahagiakannya sehingga aku tak boleh lagi merasa bersalah atas pilihanku itu. Biarkan air hujan ini sedikit demi sedikit melunturkan rasa penyesalan yang ada dalam diriku. Dan aku berharap air hujan ini mampu mencairkan hati Adinda agar mampu menerima keputusanku. Kurelakan cintaku tenggelam dalam hiruk pikuk kota Makassar. Kubiarkan cintaku tertawan terpenjara dalam paluh jiwaku.  Cinta yang tak mampu memberikanku keberanian, cinta yang ternyata tak mampu melawan kerasnya cobaan sepeti aku yang begitu gagah berani melawan dalam tawuran. Seperti aku yang sudi berpanas-panas dibawah terik matahari demi membela hak rakyat. Kuyakini ada pelangi yang indah saat cobaan ini berakhir. Pelangi yang akan melahirkan jiwa baru dalam diriku. Jiwa yang tak mampu tergoyahkan lagi oleh cobaan apapun. Aku yakin, bahkan sangat yakin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar