Matahari
berayun tampak jingga
Senda
gurau masih tersiar menyeruak dibalik derau jalanan kota
Sesekali
terdengar cacian dari bibir penghuni rumah pondok
Melaknat
dan mengutuk penguasa terang berhati batu
Si
berhati tungau masih saja merontah
Berteriak
terpenjara dalam dinding berlapis tiga
Pikirannya
dipenuhi bayang-bayang gentayangan
Menguasai
sudut dinding kamar berpetak miliknya
Gelap
masih tampak dari lantai dua
Hanya
lilin parafin yang mulai habis termakan waktu
menerangi ruang itu
Tak
setara dengan rumah kolong bagian dari pemondokan
Tampak
terang berkilauan bermandikan cahaya lampu pijar
Meski
sudah menanggung derita masih jua disalahkan
Untuk
kepentingan siapa mereka sengsara?
Pantaskah
mereka menanggung semua itu?
Penyempitan
arti kepentingan umum pun terasa sangat menyiksa
Bukankah
milik mereka untuk kepentingan pribadinya?
Namun,
dimana arti kepentingan umum itu?
Perkataan
itu yang kadang kala berkumandang begitu nyaring
Pernyataan
yang selalu terdengar indah dengan kontur intonasi yang begitu apik
Masih
dan mungkin akan terus menjadi tanda tanya besar
Hiruk
pikuk gemerlap malam panjang
Penghuni
pondok mulai berkumpul di ruang makan
Tampak
beberapa orang menguasai pembicaraan
Mereka
bukanlah si berat bibir
Berusaha
menjajal kemampuan, mengejek dan mencibir
Sesekali
merayu menggoda si pendiam agar yang dicibir makin terdiam
Sedangkan
si tebal bibir lalu lalang menghentakkan langkahnya
Tingkah
itu memang seakan telah menjadi budaya di pemondokan
Mencemooh
dan mengejek si lembut tulang
Hanya
berharap tercipta jalinan keakraban kian erat
Karena
itu hanyalah sebuah kelakar
Untuk
si lembut tulang yang elok tak terbuai amarah
Rumah
pondok itu belum jua sepi hingga malam buta
Di
temani seberkas cahaya lilin mereka masih duduk manis diperaduan
Mengindahkan
petuah dari yang telah mengenyam banyak pengalaman
Sebagai
asupan bekal hidup masa depan
Sedangkan
si ringan bibir masih saja asyik bersenda gurau di bilik bertirai oranye
Mempergunjingkan
yang tak lazim dipikirannya
Namun
itu semua tak sekedar jual bicara
Sepenggalah
matahari naik, mereka kembali berbaur
Mencabik
si ikan buyan dan mengoyakkan perutnya
Mengolah
menjadikan santapan pengganjal perut
Agar
memiliki tenaga tuk mengarungi kerasnya dunia kampus
Bukan
sekali dia menyusuri setiap ruang
Memohon
mengharap dikabulkan hasratnya
Serasa
tak peduli dengan ketidak relaan yang diminta
Memikirkan
diri sendiri acuh pada yang lain
Menegahkan
yang dipinta hidup dalam serasa bayang-bayang
Hingga
berkehendak remas bibir agar dia tak lagi datang menghampiri
Semua
berbaur jadi satu
Ada
si kurus mering, ada si tambun
Ada
si tukang segan, ada yang berlagak getol
Hidup
dalam satu atap satu persoalan
Gelap
dalam terang menjadi bagian yang mesti dilalui
Mesti
kadang berkecamuk berkobar-kobar namun hasilnya tak jua tampak
Hidup
dalam beragam perbedaan
Kadang
mesti kencong bibir meyaksikan miliknya sirna dari peraduan
Kadang
hati miris mengindahkan ulah mereka yang kerap melakukan serong kata
Pura-pura
tak tahu, pura-pura berbuat dalam keterpaksaan
Kadang
pula hati risau termakan kata si pengibul
Mengajak
berbuat, agar dia tenggelam aman dari kenistaan
Bersembunyi,
menjadikan yang terikut bualan jadi umpan peluru
Namun,
semua harus melapangkan hati
Mengikhlaskan
bertahan meski kadang didera derita
Bertahan
melawan meski kadang tertawan
Semua
itu diperjuangkan tuk mencapai kebahagiaan hidup
Mengejar
cita-cita mulia tuk menyongsong keberhasilan
Semua
itu berbaur seiring senada di rumah berpetak,
berdinding bilik, beratap rumbia
0 komentar:
Posting Komentar