Matahari
mulai tertutup awan hitam pertanda hujan kian mendekat. Rama pun bergegas
pulang meski rapat pembentukan panitia kegiatan Pekan Olahraga dikampusnya
belum usai. “Fahmi, aku duluan ya. Soalnya mau hujan nih dan kayaknya hujannya
bakalan deras takut nanti kemalaman kalau mesti tunggu hujannya reda.” Ucap
Rama pamit kepada Fahmi sahabatnya. “Kenapa nggak barengan aja sama aku? Nanti
aku antar.” Tutur Fahmi memberikan saran. “Nggak usah, ada urusan sebentar malam”
jawab Rama sambil berlalu meninggalkan ruang rapat.
Tiba-tiba
didepan gerbang, Rama tersambar mobil Honda Jazz berwarna putih. Ramapun
terlempar karena kaget. Raut wajahnya kian memerah menampakkan jika dia sedang
tersulut emosi. Bagaimana tidak pengendara mobil yang hampir mencelakakan
nyawanya berlalu begitu saja tanpa sedikitpun prihatin padanya. Ramapun
berjanji akan memberi pelajaran kepada orang yang hampir menabraknya. Selang
beberapa menit sebuah angkotpun lewat. Rama tak mau menyia-nyiakan waktunya,
dia lantas naik ke angkot dan meninggalkan kampus.
Malam
kian larut, Wajah kota metropolitan kian menunjukkan pesonanya. Bersama dengan
teman kostnya, Rama menuju sebuah kost-kostan dipinggir kota Makassar.
Sesampainya di sana Rama dan teman kostnya Idun disambut oleh beberapa pemuda
berambut gondrong. “Eh, aku bawa teman baru nih.” Ucap Idun kepada
pemuda-pemuda itu. “Aman gak?” Tanya Beni pemilik kamar kost. “Tenang saja, dia
ini teman kostku kok, orangnya baik jadi gak mungkin ada apa-apa.” Jawab Idun
meyakinkan Beni dan teman-temannya. “Kenalin nih namanya Rama.” Sambung Idun.
Sejak
malam itu Rama mulai mengenal namanya sabu-sabu. Bukan hanya sebagai pemakai
saja Rama kini diajak oleh Idun dan teman-temannya untuk berbisnis barang haram
itu. Rama yang sebelumnya hidup sederhana bahkan kadang kekurangan, kini mulai
menjalani hidup penuh pesta. Klub malampun menjadi tempat tongkrongannya. Rama
kini sedikit demi sedikit menjauh dari sahabat-sahabatnya di kampus.
“Rama,
kamu kok nggak pernah lagi ikut rapat sih? Padahal acaranya tinggal dua minggu
lagi. Kamu juga tidak pernah hadir kalau panitia ngadain kerja untuk persiapan
acara pembukaan. Kamu kemana aja?” Tanya Fahmi. “Itu bukan urusanmu.” Jawab
Rama sambil berlalu. “Rama, Rama, tunggu aku mau bicara sama kamu.” Teriak
Fahmi sambil menyusul Rama. “Rama kamu ada masalah apa? Bilang sama aku, siapa
tahu aku bisa bantu. Kita ini sahabat Rama, aku khawatir sama keadaan kamu
sekarang. Kamu seakan acuh sama kuliah kamu, kamu nggak betah lagi berada di
kampus. selepas jam kuliah kamu langsung bergegas pergi entah kemana. Kamu
sekarang beda, bukan Rama yang aku kenal dulu. Kamu bahkan seperti bukan Rama
sahabat aku.” Ujar Fahmi. “Ok. Kalau itu kata kamu. Aku memang bukan sahabat
kamu lagi.” Jawab Rama lantas pergi keluar kampus.
Rama
tampak sibuk dengan Hpnya di depan Halte. Tiba-tiba lewat Mobil Honda Jazz
putih memasuki gerbang yang ada di depan Halte. Ramah langsung memfokuskan
pandangannya menatap mobil itu dengan wajah nanar. Tanpa buang waktu, Rama
menuju parkiran yang ada di kampus. ketika pengemudi mobil putih itu keluar
dari mobil Rama langsung melayangkang kepalan tangannya ke wajah pria itu. “Ini
balasan buat orang yang tidak tahu sopan santun, tidak berprikemanusiaan.
Mentang-mentang kamu naik mobil bagus, kamu seenaknya saja mengendarai mobil
tanpa memperhatikan orang yang sedang berjalan kaki.” Ujar Rama ke pemuda itu.
“Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti. Yang tidak punya sopan santung siapa?
Yang tidak punya rasa prikemanusiaan siapa? Kamu atau aku? Tahu-tahu kamu
langsung saja menghajarku. kamu mau cari gara-gara sama aku. Awas kamu.” Ancam
Pemuda itu dengan nada keras. “Oh, jadi kamu sudah lupa kejadian itu. Lihat
saja nanti akan kubuat kamu mengingat semua itu sedetail mungkin.” Bentak Rama
sambil mengambil sebuah batu lalu melemparkannya ke kaca depan mobil Honda Jazz
putih itu lalu berlari meninggalkan parkiran. “wee, sialan, brengseng kamu. Aku
tidak akan melupakan kejadian ini.” Teriak pemuda itu dengan wajah merah padam.
Sejak kejadian itu Rama seakan-akan ditelan bumi. Dia tak pernah lagi tampak di
kampus.
Pekan
Olahraga yang diadakan Jurusan Matematika salah satu Universitas di Makassar
berjalan meriah. Beberapa cabang olahraga dipertandingkan di acara tahunan itu.
Para panitia tampak sibuk mempersiapkan semua perlengkapan lomba. Termasuk
Fahmi yang merupakan panitia inti diacara itu. Disela-sela istirahat tiba-tiba
hp Fahmi berdering. Sebuah pesan yang ternyata dari Rama. “Fahmi, aku mau
ketemu sama kamu. aku butuh bantuan kamu. kita ketemuan di tempat makan
dibelakang kampus.” isi pesan Rama. Fahmipun bergegas menuju tempat makan
tersebut. Sesampainya di sana Fahmi tampak kaget melihat Rama. Wajahnya pucat,
dan penampilannya tampak urak-urakan seperti orang yang sudah tidak terurus.
“Rama, Kamu kenapa kok jadi begini? Kamu sedang ada
masalah apa?” “Sudahlah kamu jangan banyak tanya, aku butuh batuan.”
“iya tapi masalah kamu apa?”
“masalahku uang.”
“Aku kan sudah bilang ke kamu kalau kamu kehabisan
uang untuk makan datang saja ke aku, jangan ngutang. Berapa utang kamu?”
“sepuluh juta.”
“apa? Itu untuk apa Rama. Kamu ada urusan apaan
diluar sana sampai-sampai kamu perlu uang sebanyak itu?”
“aku bilang kamu jangan banyak tanya. Berikan saja
uangnya!”
“aku tidak punya uang sebanyak itu. Lagian kalau pun
aku punya aku tidak akan kasih ke kamu. kamu sudah berubah Rama.”
Fahmi
lantas pergi meninggalkan Rama dengan wajah kecewa melihat sahabatnya telah
berubah. Ramapun turut meninggalkan tempat makan itu dengan raut wajah
beringisan. Orang yang diharapkannya bisa membantu ternyata malah membuat dia
kecewa. Seakan-akan dunia akan runtuh. Tidak ada lagi harapan buatnya mendapatkan
uang untuk membayar lilitan utang sabu yang tak bisa ditebusnya. Hasil jualan
sabunya pun habis untuk berfoya-foya.
Hari
kian hari kian kelam. Nasib Rama makin tak tentu arah. Hidupnya pun tak pernah
lagi setentram dulu. Kini dia dikejar-kejar oleh Beni dan temannya. Kostnya pun
yang dulu dia tinggalkan bersama dengan barang-barangnya termasuk buku-buku
yang sebelumnya menemani hari-harinya melangkah menyusuri jalan menuju
kesuksesan. Kesuksesan yang dia yakini akan merubah garis hidupnya, garis hidup
keluarganya dan garis kehidupan keturunannya kelak. Kini semua telah sirna.
Bagaikan embun pagi yang mulai menguap meninggalkan dedaunan. Hilang dari
peraduan.
Hujan
sedang membabi buta membasuh kota Makassar. Langit kelabu untuk kisah yang
kelam. Sebuah pertanda akhir hidup yang begitu sengsara. Kabar duka yang datang
bersama petir dibawah langit gelap tertutup awan hitam yang terus menangis
sepanjang waktu. Kasih tali persahaban itu kini sampai pada ujungnya. Sesosok
pria yang diketahui bernama Rama ditemukan tewas. Tubuhnya terseret air sungai
yang keruh sekeruh hati Rama di penghujung nafasnya. Terdapat luka lebam
disekujur tubuhnya serupa luka yang telah dia sematkan ke dalam hati
sahabatnya.
Fahmi
hanya terdiam kaku ketika mendengar berita itu. Fahmi dihinggapi rasa bersalah.
Bukan karena dia tidak mau membantu sahabatnya untuk meminjamkan uang sepuluh
juta tapi Fahmi merasa bersalah karena tak bisa membantu sahabatnya untuk terus
berjalan di jalan yang lurus. Rama yang sholeh, taat beribadah, cinta kepada
keluarganya beberapa bulan terakhir seakan musnah dari muka bumi digantikan
oleh sesosok Rama yang centang perenang. Pergaulan itu sudah membuat Rama jauh
dari apa yang dulu dia miliki.
Mayat
yang mulai membusuk itu kini tertidur panjang dalam ruang gelap nan sempit.
Ditemani air hujan yang merembes melalui pori-poori tanah. Di balik papan sosok
Ramah akan musnah bersama mimpi yang dulu pernah dia bangun. Fahmi dan keluarga
Rama memang tidak mudah melupakan sosok Rama. Tapi waktu akan memudarkan
kenangan itu hingga suatu saat nanti mereka tak mampu lagi mengingatnya bahkan
lewat mimpi.
0 komentar:
Posting Komentar