Suasana kian riuh sesaat setelah acara pembekalan KKN
ditutup. Akhirnya semua mendapat kepastian. Anggota kelompok, waktu
keberangkatan, dan daerah penempatan semua sudah dibeberkan oleh pembina bahkan
pengurus-pengurus di kecamatan sampe ke desa-desa semua sudah ditentukan. Meski
daerah KKN lumayan jauh dari daerah asalku bahkan dari kampus tapi ini
pengalaman baru buatku. Apalagi Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Bone katanya
salah satu kecamatan tertinggal yang ada di Kabupaten Bone.
Akupun membayangkan akan hidup selama dua bulan disana
tanpa bisa berkomunikasi lewat telepon genggam seperti yang saya nikmati tiap
hari, apalagi bisa menikmati yang namanya internet merupakan suatu hal yang
sepertinya mustahil. Namun dibalik itu, melihat kecamatan yang masih belum
banyak mendapat perkembangan itu menjadi nilai tambah karena pemandangannya
yang pastinya masih asri dipenuhi banyak pepohonan, airnya langsung dari sumber
mata air yang pasti terasa sangat segar, dan paling penting jauh dari polusi
udara seperti halnya diperkotaan.
Aku langsung memberikan kabar kepada keluargaku mengenai
keberankatan KKN yang tinggal menghitung hari. Namun raut wajahku yang tadinya
ceria, senyum lebar yang terpancar dari wajahku yang menandakan begitu
bahagianya diriku karena akan mendapatkan pengalaman yang menurut para
senior-senior KKN adalah pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan selama
kuliah berubah seketika. Kabar dari kampung berbanding terbalik dengan apa yang
aku rasakan. Ibu masuk rumah sakit sejak kemarin. Serasa disambar petir disiang
bolong, wajahku kian pasi dan tak tahu harus berbuat apa. Sepanjang perjalanan
pulang ke kost, dipikiranku dipenuhi bayang-bayang keadaan ibu yang terbaring
lemah di rumah sakit. Persiapan KKN-ku juga belum beres, peralatan-peralatan
yang harus dibawa belum aku siapkan ditambah lagi lusa ada rapat internal
sesama anggota KKN untuk membicarakan sistematis Pelaksanaan KKN selama dua
bulan. Jika tidak hadir, aku akan banyak ketinggalan informasi dan pertemuan
itu menurutku penting karena itulah langkah awal untuk lebih dekat dengan
anggota yang satu posko denganku tapi keadaan ibuku juga sangat penting. Aku
bertekad sebelum aku berangkat KKN aku harus menjenguk ibuku.
Besoknya, aku langsung bergegas untuk pulang ke Pinrang.
Perjalanan dari Makassar ke Pinrang memakan waktu sekitar 4 jam. Perjalanan
yang cukup melelahkan tapi demi seorang ibu perjalanan itu tidak ada artinya
dibandingkan dengan jasa-jasanya kepadaku. Apalgi sekarang dia lagi membutuhkan
sosok seorang anak disampingnya untuk merawatnya. Panah matahari kian terasa
menandakan sudah tengah hari. Tak lama kemudian akupun tiba di rumah sakit.
Seketika aku begegas meninggalkan mobil yang saya tumpangi menuju ke dalam
rumah sakit. Di dalam ruang inap aku hanya terdiam melihat ibuku yang sedang
tertidur. Pandanganku terfokus pada perutnya yang membuncit dikarenakan ada
gangguan pada ususnya sehingga beliau tidak dapat buang air besar.
Ibuku memang sudah lama bolak balik rumah sakit. penyakit
sebelumnya yang membuat dia tersiksa adalah terdapat bebatuan diginjalnya yang
menyulitkannya untuk buang air kecil. Selain itu kadar gula darahnya yang
tinggi juga menjadi penyebab lemahnya fisik beliau. Aku masih ingat waktu aku
masih duduk di kelas satu sekolah menengah atas ibuku harus menjalani operasi
karena terdapat tumor di dalam kandungannya. Melihat riwayat penyakitnya aku
semakin bertanya-tanya, kenapa harus dia yang mengalami semua itu? Dia terlalu
rapuh untuk mendapatkan cobaan seberat itu.
Setelah beberapa menit aku duduk termenung menatap ibuku,
beliau akhirnya terbangun. Ibuku langsung memintaku untuk merangkulnya.
Seketika air mataku tertumpah, tangisannya makin meledak. Kesedihanku kian
membubung tinggi. Aku dimintanya tuk menciumnya. Aku lantas mencium pipi kiri
dan kanannya. Disela-sela tangisannya terucap kata-kata yang membuat tangisanku
kian lepas. “lanasalaia anakku, jooka nakitaa onjo.” Yang artinya anakku sudah
mau berangkat, dia tidak akan melihatku pergi. Kata-kata itu seakan jadi
pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal yang tidak aku inginkan. Namun aku
berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanya kata-kata biasa yang tidak berarti
apa-apa. Kata-kata yang hanya spontan keluar dari bibirnya hanya karena dalam
keadaan sedih. Aku tak mampu melakukan apa-apa buatnya. Aku lantas berpikir aku
adalah anak yang tidak dapat membanggakan ibunya, anak yang tak beguna, anak
yang tak bisa melakukan sesuatu untuk membuat orang tuanya terlihat bahagia.
Aku hanya bisa mengucap kata sabar, Bu, sabar Bu. Otakku tak mampu memikirkan kata-kata
lain selain kata sabar. Aku begitu naif, sungguh anak yang tak bisa diandalkan.
Keadaan sedih itu mulai berlalu, tangisannya kini sudah
reda. Aku memanfaatkan waktu itu untuk berbincang-bincang mengenai
keberangkatan KKN-ku. Matahari beralih menampakkan pemandangan yang begitu
indah. Langit tampak jingga berpadu awan putih yang tampak membentuk pola-pola
abstrak yang punya nilai seni tersendiri. Ku tatap awan dibalik jendela,
imajinasiku mulai beraksi. Kulihat awan membentuk wajah ibuku sedang tersenyum
melihatku. Tiba-tiba ayahku menegurku. Aku mulai bergegas membereskan
barang-barangku dan segera siap-siap. Mengingat besok ada pertemuan dengan
anggota KKN sekecamatanku, aku tak bisa menemani ibuku lama-lama di rumah
sakit. Setelah shalat maghrib aku lantas berangkat ke Makassar. Entah apa yang
ada dibenak kepalaku. Sepanjang perjalanan kata-kata yang terucap dari bibir
ibuku saat kami berpelukan terus menghantui pikiranku. Tak henti-hentinya
kata-kata itu terdengar seakan-akan ada beliau disampingku sedang membisikkan
kata itu. Air mataku tak bisa ku bendung, terus mengalir sepanjang perjalanan.
Untung saja aku hanya duduk sendiri dikursi bagian belakang, jadi tidak ada
yang memperhatikanku.
Langit tampak cerah menjadi pertanda baik tuk menjalani
kegiatan hari ini. Sebelum bersiap-siap berangkat ke kampus tak lupa aku
menghubungi keluargaku. Alhamdulillah, keadaannya sudah lebih baik dibandingkan
kemarin. Nyeri yang dirasakan ibuku mulai berkurang. Kabar yang cukup melegakan
membuatku lebih semangat dalam situasi seperti ini. jam beker yang berada di
meja samping tempat tidurku sudah menunjukkan pukul 08.05 WITa. Aku pun lekas
bersiap-siap menghadiri pertemuan.
Pertemuan yang memakan waktu selama tiga jam menurutku
sangat berarti, akupun mendapatkan banyak informasi tentang bagaimana keadaan
di tempat KKN. Katanya hanya sebagian daerah yang belum dialiri listrik dan
belum ada jaringan komunikasi. Awalnya aku tidak mempermasalahkan hal itu tapi
untuk sekarang ini aku sangat membutuhkan jaringan komunikasi itu. Aku harus
bisa memantau perkembangan ibuku saat aku berada di tempat KKN. Bahkan aku
berencana untuk mengajukan perpindahan lokasi KKN di kampungku tapi itu sudah
tidak mungkin karena rombongan KKN untuk Kabupaten Pinrang sudah berangkat
kemarin. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan itu. Jalan yang diberikan Tuhan
adalah jalan yang memang menurut-Nya baik meski kadang tidak sesuai dengan
keinginan kita. Hari masih panjang, aku memutuskan untuk membeli beberapa
perlengkapan yang akan dibawa ke lokasi KKN. Bersama beberapa teman sekelasku,
aku menuju salah satu toko yang menjual banyak macam barang. Untungnya
kebutuhan yang ingin kupersiapkan semua ada di toko itu. Jadi aku tak perlu
repot-repot mencari ke toko-toko lain.
Jalan raya semakin padat, maklum sekarang sudah jam
pulang kantor. Macet dimana-dimana ditambah lagi perut belum juga terisi dari
tadi siang. Tenaga seakan sudah habis terkuras. Aku dan temanpun menuju salah
satu tempat makan yang tak jauh dari toko tersebut. Mengingat ulang tahunku yang
baru lewat satu minggu tidak ada salahnya aku merayakannya bersama mereka.
Tahun ini aku tak banyak mengharapkan sesuatu di ulang tahunku, aku haya ingin
apa yang akan aku kerjakan di usiaku yang sudah mencapai 21 tahun semua
berjalan lancar. Tapi kado yang paling tak terduga adalah kondisi ibuku yang
terkapar tak berdaya di rumah sakit. Kado yang tak pernah aku harapkan. Aku
hanya ingin ibuku selalu berada di sampingku, apalagi sehabis KKN aku akan
segera menyusun skripsi dan aku ingin ibu bisa mendampingiku di hari wisudaku
nanti. Aku ingin tunjukkan kepada semua orang bahwa orang yang paling berjasa
dalam pencapaianku selama ini adalah kedua orang tuaku. Aku hanya ingin itu,
tidak lebih. Cukup ada ayah dan ibu disisiku saat aku meraih titel sarjanaku kelak.
Semua sudah beres, koper berisi pakaian dan peralatan
lain sudah tertata rapi. Papan tulis kecil untuk keperluan disana juga sudah
ada dan sudah diikatkan di printer agar membawanya tidak terlalu repot. Tas
jinjing untuk keperluan mandi dan peralatan yang tak muat di dalam koper juga
sudah disiapkan. Tinggal tas ransel yang berisi laptop yang belum dibereskan
karena laptop masih aku pakai. Kamar juga sudah dibereskan agar nanti tidak
berantakan apalagi bisa mengundang tikus selama ditinggalkan.
Minggu 24 Juni, pertanda tinggal sehari lagi aku berada
di Makassar karena besok sudah berangkat ke lokasi KKN. Hari-hari terakhir aku
kumpul bersama teman-teman yang memang masih ada di Makassar. Apalagi setelah
KKN kita tidak akan lagi bertemu sesering dulu karena aku sudah tidak ada lagi
kelas bersama mereka. Tiba-tiba telepon genggamku berdering, telepon dari
kakakku. Seketika hatiku was-was, aku takut terjadi sesuatu yang tidak aku
harapkan. Benar dugaanku. Ibuku akan dipindahkan ke ruang ICU dan aku diminta
untuk segera ke Pinrang. Hatiku hancur saat itu juga mengingat besok adalah
keberangkatan KKN-ku. Aku bingung mesti berbuat apa. Untung saja aku punya
teman yang bisa memberikanku masukan. Segera aku menelepon pembinaku untuk
menginformasikan pembatalan keberangkatanku besok. Untung saja disetujui
olehnya. Setelah itu aku menelepon koordinator kecamatan dan desaku untuk
meminta izin. Tak berpikir panjang lagi aku segera menuju ke terminal.
Diperjalanan aku mendapat kabar kalau ibuku tidak jadi dipindahkan di ruang ICU
dan sudah keluar dari rumah sakit.
Matahari sudah condong ke barat, aku pun akhirnya sampai
di rumah. Keluargaku memilih untuk memulangkan ibuku karena mereka merasa tak
ada perubahan. Apalagi menurut sepupuku yang bekerja dirumah sakit mengatakan
sebaiknya ibuku dirawat saja di rumah karena pihak rumah sakit sudah tak mampu
lagi berbuat apa-apa. Di ruang ICU terbatas sedangkan ibuku butuh orang yang
senantiasa siaga berada disampingnya. Sesampainya di rumah aku langsung menuju
kamar tempat ibuku dibaringkan. Aku lantas mencium tangannya, air mataku kian
deras mengalir. Dia tak mampu lagi membuka matanya. Meski kadang-kadang dia
mengerang karena kesakitan. Aku perhatikan wajahnya yang tak lagi mampu
tersenyum. Selang yang yang ada di mulutnya semakin membuatnya tak berdaya.
“Tuhan, aku ingin ibuku sehat. Tuhan sembuhkan dia, aku tak mampu melihat dia
seperti ini Tuhan.” Ucapku dalam hati.
Ibuku memang tak mampu lagi menatapku tapi aku tahu dia
merasakan kesedihan yang kurasakan. Ibuku pun diberitahu kalau aku datang dan
membatalkan berangkat KKN sampai keadaannya membaik. Namun dia tidak setuju
dengan keputusan yang diambil keluargaku dan tidak memeritahu persoalan ini
sebelumnya kepadanya. Setelah kami sekeluarga berembuk, akhirnya aku diminta untuk
tetap berangkat besok. Pilihan itu merupakan pilihan yang paling bijak
mengingat tempat KKN-ku tidak ada satupun anggota keluargaku yang mengetahui
dimana letaknya, apalagi Kabupaten Bone merupakan kabupaten yang cukup luas.
Lagian tidak ada kepastian kapan ibuku keadaannya akan membaik dan tidak
mungkin ayahku akan meninggalkan ibuku dalam keadaan seperti ini hanya untuk
mengantarku ke tempat KKN. Aku dirundung dilema yang teramat sangat. Aku tidak
rela meninggalkan ibuku dalam keadaan seperti ini tapi KKN juga tidak bisa saya
tinggalkan mengingat ini salah satu mata kuliah yang harus aku lalui. Aku
berpikir untuk membatalkan program KKN-ku kali ini dan bisa mengulangnya dilain
waktu, tapi hal itu tidak disetujui oleh keluargaku. Aku kembali masuk ke kamar
ibuku. Aku duduk dihadapannya. Kucium tangannya dengan air mata yang memang
sedari tadi tak henti-hentinya mengalir. aku menyesal kenapa waktu ibuku masih
di dalam rumah sakit dan keadaannya belum separah ini aku tidak meluangkan
banyak waktu bersamanya.
Langkah kakiku terasa berat tuk meninggalkan rumah tapi
ini adalah amanah, amanah yang harus kujalani. Ibukupun seakan sudah merestuiku
begitu pula dengan keluargaku yang sudah mencoba untuk merelakan
keberangkatanku. Bertemu dengannya hari ini meskipun tak sampai tiga jam
membuatku sudah bersyukur. Dalam perjalanan kembali ke Makassar tak
henti-hentinya aku berdoa demi kesembuhan ibuku. Aku masih mengingat apa yang
pernah aku tulis di dalam buku harianku bahwa suatu saat kelak setelah aku
berhasil aku akan menjadikan ibuku ratu dalam istanaku. Aku tak akan membiarkan
dia merasakan kekurangan sedikit apapapun. Aku akan menjadikan dia sosok wanita
yang paling bahagia dalam hidupku.
Udara pagi masih terasa. Bunyi kendaraan yang lalu lalang
didepan kostpun belum seramai biasanya. Aku segera bergegas mempersiapkan diri
untuk berangkat ke kampus. sebelum ibuku sakit seperti sekarang ini dia
berjanji akan ke Makassar untuk menemaniku dan mengantarku ke tempat berkumpul
sebelum berangkat ke lokasi. Namun semua tinggal harapan, semua seakan hanya
sebuah mimpi. Dengan bentor aku menuju ke kampus. sesampainya di kampus aku
hanya bisa terdiam melihat teman-teman yang lain datang bersama orang tuanya
sedangkan aku, aku hanya datang seorang diri. Kebahagiaan mereka begitu lengkap
sedangkan aku dipenuh rasa bersalah karena harus meninggalkan ibuku dalam
keadaan yang tak berdaya. Tapi aku berusaha tegar, aku tak boleh menampakkan
apa yang kurasakan kepada siapapun. Ini akan menjadi perjalanan tim bukan cuma
tentang kepentinganku tapi untuk kepentingan bersama. Aku harus mampu membuang
jauh-jauh raut wajah sedihku dihadapan mereka.
Perjalanan yang memakan waktu lebih dari empat jam
membuat kami cukup lelah ditambah lagi harus melewati perjalanan yang berliku
dan lumayan sempit. Tebing dan jurang yang menjadi pemandangan yang membuat
adrenalin kian was-was terbentang disepanjang jalan. Ketika penyambutan
mahasiswa KKN berlangsung ada perubahan rencana. Poskoku bertukar lokasi dengan
posko induk. Satu jalan yang patut aku syukuri karena desa yang sekarang
menjadi tempat lokasi KKN-ku merupakan desa paling dekat dengan jalan poros.
Hanya butuh waktu kira-kira setengah jam untuk sampai ke jalan poros dan tak
perlu melewati tanjakan yang cukup ekstrim. Jalannya pun cukup bagus ditambah
terdapatnya jaringan telepon yang bisa memudahkanku berkomunikasi dengan
keluargaku di Pinrang. Aku percaya Tuhan tidak akan mempersulit jalan suatu
hamba yang Dia cintai.
Pemandangan yang tampak indah dari depan poskoku. Pohon
kakao mendominasi pemandangan sekitar. Maklum daerah ini memang daerah yang
cocok untuk berkebun. Suhu yang sangat dingin membuatku sedikit susah untuk
beradaptasi. Jika di Makassar aku butuh kipas angin agar tidak kegerahan disini
aku butuh selimut yang tebal, pakaian yang tebal agar tidak menggigil. Airnya
memang sangat jernih. Langsung dari sumber mata air. Untuk mandi saja kami
harus menunggu tengah hari agar tidak terasa terlalu dingin. Meskipun kata
orang-orang disana mandi dipagi hari akan lebih baik. Jalan yang menanjak
membuat kami sedikit kewalahan apalagi harus berpergian untuk survei lapangan
dengan berjalan kaki.
Aku tidak pernah berhenti menghubungi keluargaku selama
beberapa hari di tempat KKN. Setiap pagi aku selalu menyempatkan untuk
menanyakan perkembangan ibuku. Ketika maghrib menjelang di hari ketiga aku
berada di tempat KKN aku mendapat firasat yang aneh yang membuat aku begitu
cemas. Saat di dalam kamar mandi suara dari bunyi serangga terdengar begitu
nyaring seakan-akan serangga-serangga itu mengelilingi kamar mandi. Aku mencoba
untuk menenangkan hatiku dengan menganggap bahwa itu wajar saja karena memang
dibelakang posko adalah perkebunan. Meski begitu, entah mengapa aku tidak bisa
merasa tenang. Dalam doaku seusai shalat maghrib aku tak henti-hentinya mendoakan
keselamatan ibuku dan mengharapkan kesembuhannya. Air mataku yang berusaha aku
tahan selama beberapa hari ini akhirnya keluar juga. Untung saja aku hanya
sendiri di dalam kamar pada saat itu. pikiranku malam itu hanya tertuju pada
ibuku. Aku membayangkan wajahnya ketika dia masih sehat.. Aku juga mengingat
kesalahanku saat aku masih duduk dibangku sekolah yang membuat ibuku meneteskan
air matanya yang aku yakini dosa terbesar dalam hidupku yang mungkin takkan
pernah terampuni. setetes saja air mata ibu karena perbuatan anaknya akan
membuat anaknya akan susah nendapatkan kebahagiaan akhiratnya apalagi kalau
ribuan tetes seperti yang aku lakukan. Aku tidak bisa membayangkan betapa
sengsaranya hidupku kelak. Namun hal itu tidak pernah membuatku putus asa, aku
tetap berusaha mencoba memperbaiki kesalahanku diwaktu dulu dengan
membahagiakan orang tuaku.
Pagi dihari kamis tak berbedah jauh dari hari-hari
sebelumnya. Menikmati udara segar sambil duduk-duduk di depan pintu gerbang.
Kebetulan ada tempat bersantai di sana. Aku sambil membuka sosial media, lewat
salah satu akunku aku pun memposting beberapa foto. Saat aku membaca
postingan-postingan dari teman-temanku di sosial media aku terpaku pada satu
postingan. “Hujan deras melanda Pinrang.” Ucap salah satu akun. Hatiku
tiba-tiba ketir-ketir. Memang dari dulu aku meyakini kalau ada hujan biasanya
akan ada orang yang meninggal apalagi kalau hujannya kadang beberapa kali dalam
sehari. Meski itu cuma kesimpulanku semata tapi aku meyakini akan ada sesuatu
yang terjadi di Pinrang yang akan membuatku tidak nyaman. Seketika aku
menhubungi keluargaku. Kata ayahku, ibuku belum ada kemajuan dan aku diminta
untuk bersabar memang seperti inilah jalan yang dipilihkan Tuhan untuk kita.
Hatiku sedikit tenang setelah mendengar kata ayahku.
Selang beberapa jam ada telepon dari sepupuku yang
membuat hatiku porak-poranda. Ibuku telah meninggal. Ibuku telah pergi
meninggalkanku disaat aku tidak berada di sampingnya. Aku begitu menyesal
mengapa aku mengiyakan kemauan keluargaku untuk tetap berangkat KKN. Air mataku
tak bisa lagi terbendung. Aku coba menenangkan diriku, lalu aku memutuskan
untuk pulang ke Pinrang. Untung saja ada seseorang yang sedang menginap di
posko untuk melakukan survei di desa tempatku KKN yang memiliki motor jadi aku
bisa ke jalan poros dengan cepat. Dibonceng teman seposkoku aku langsung
meninggalkan tempat KKN dengan berbekal dua pasang pakaian di dalam tas. Aku
dilanda ketakutan, takut apabila tidak mendapat transportasi ke Pinrang.
Apalagi dari tempatku ke terminal yang ada di kota memakan waktu dua jam lebih.
Tuhan sekali lagi menunjukkan kuasanya. Tak lama sesampainya kami di jalan
poros lewatlah bus yang akan ke Pinrang.
Di dalam bus aku masih tak percaya ibuku telah pergi.
Selama ini aku memang sangat dekat dengan ibuku. Kadang, kalau aku sedang libur
kuliah aku lebih memilih tidur dengan ibuku. Aku begitu merasa hangat saat
berada dalam pelukannya. Apalagi saat aku sakit, tubuhku diserang demam dan
menggigil yang membuatku tidak bisa tidur. Rangkulannya saat itu membuat aku
begitu nyaman dan membuatku bisa kembali tertidur. Ketika harus balik ke
Makassar karena perkuliahan akan kembali berlangsung ibuku seakan begitu
khawatir dengan keadaanku sehingga dia meminta ayahku untuk menemakiku ke
Makassar. Ibu memang sangat peduli terhadap anak-anaknya, tanpa kenal lelah dia
selalu bekerja sepanjang hari. Kasih sayangnya tak pernah habis untuk
dicurahkan kepada sang anak.
Perjalanan yang cukup panjang sekitar lima jam aku berada
di bus akhirnya tiba juga di Pinrang. Di pertigaan aku telah ditunggu oleh
seppuku, memang bus itu tidak melewati jalur ke rumahku. Tiba di rumah,
orang-orang terlihat ramai. aku yang sedari tadi menahan air mataku tak mampu
lagi menahannya. Aku langsung tersungkuk lemah dihadapan ayahku. Aku disambut
dengan tangisan dari keluargaku. Wajahnya yang pucat, kulitnya yang dingin
sedingin es, tubuhnya yang kaku. Rasanya aku ingin teriak meluapkan segala rasa
yang berkecamuk dalam batinku. Ciuman dan pelukan yang kuberikan untuknya saat
di rumah sakit ternyata menjadi ciuman dan pelukan terakhirku dengannya.
Aku benar-benar tak rela ibuku pergi meninggalkanku tapi
melihat keadaannya yang memang sangat tersiksa dengan sakitnya aku tak bisa
berbuat apa-apa. Yang aku sesalkan hanyalah aku belum bisa membahagiakan dia.
Aku belum bisa mewujudkan apa yang telah aku cita-citakan untuknya. Aku belum
mampu mempersembahkan prestasi yang gemilang buatnya. Aku begitu menyesal
disaat-saat terakhirnya aku tidak berda di sampingnya. Aku belum sempat bilang
aku sangat sayang sama ibu. Aku tidak berada disampingnya membantunya
melafalkan kalimat lailahaillallah.
Kini hidupku tanpa kehadirannya disisiku membuatku kadang
sangat kesepian. Kadang aku sangat membutuhkan kehadirannya, kadang aku sangat
membutuhkan hangatnya pelukannya. kadang aku iri melihat teman-teman di kost
dikunjugi ibu mereka. Tuhan aku tahu ini jalan yang telah Engkau takdirkan
buatku. aku berharap Tuhan menempatkan ibuku ditempat paling indah disurga. Aku
berharap ibu ada diantara bintang-bintang yang tampak terang mewarnai
malam-malam yang memantau aku dikala sedang terlelap. Ibu terima kasih atas
segala pengorbananmu yang tanpa lelah memberikan cahaya cinta tanpa batas
untukku, terima kasih atas putih kasihmu yang tiada henti tercurah hingga nafas
terakhirmu. Ada berjuta rasa sayang yang menggema disetiap penjuru hatiku yang
tidak akan pernah mampu terhambur lewat getar-getar bibirku. Semua cerita
tentangmu kan kutuliskan tebal-tebal dalam lembar-lembar benakku, kutuliskan
dengan tinta melati.
0 komentar:
Posting Komentar