Langit tampak gelap, tak ada satupun bintang yang
terlihat memberikan warna dimalam yang kelabu ini. Hujan baru saja reda, kaca
jendelaku masih basah. Memang, hujan kali ini disertai angin yang lumayan
kencang. Jemuran yang masih bergelantungan dibelakang rumahpun berceceran di
tanah. Kupandang langit dari segala arah, bulanpun tak tampak karena tertutup
awan. Entah mengapa malam ini terasa sunyi, meski kendaraan beringas lalu
lalang dijalur perbatasan. Suara radio dari tetanggapun berdesing-desing. Tapi apa
yang membuatku terasa begitu senyap. Mungkinkah itu karena hatiku yang sedang
gundah? Atau... atau.. ah.. aku tak tahu. Ya, mungkin saja karena itu. Aku
memang sedang dilanda kegundahan.
Kutarik nafas dalam-dalam, Kuulangi berkali-kali. Dinginnya udara malam ini begitu terasa menusuk hingga ketulang-tulangku. Lalu aku bergegas kembali ke kamar. Kupandang langit-langit kamarku yang warnanya semakin memudar. Imajinasiku kian liar membawaku kepermasalahan yang begitu membuatku merana. Mulai tampak goresan-goresan hitam dilangit-langit kamarku yang berwarnah putih pudar dengan bercak-bercak noda karena rembesan air hujan. Goresannya kian lama kian bertambah membentuk lukisan-lukisan tentang kehidupanku dengan mereka. Tergambar aku sedang berada diantara mereka, terkepung dengan sejuta pertanyaan. Aku laksana tenggelam dilautan lepas dikelilingi pemangsa-pemangsa ganas dari samudra terluas. Aku cuma bisa berdiam diri, tanpa kusadari air mataku mulai menjalar membanjiri pipiku. Ingin rasanya aku berlari menjauh dari mereka tapi apadaya, aku bagaikan terpenjara, kakiku seakan terpasung, tanganku seakan terlilit tali barut. Silih berganti mereka melontarkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang seakan memaksaku hingga ku tak mampu lagi menutupi semua ini. Dan rasanya aku ingin berteriak menyatakan memang benar, itu memang benar, memang aku, aku, ah, tapi aku tak bisa.
Tiba-tiba terdengar bunyi alarm dari jam beker
yang ada dimeja samping tempat tidurku. Lamunankupun sirna seketika dibuatnya.
Ternyata sudah pukul 03.00 pagi. Hari masih terlalu dini untuk memulai
aktifitas diluar rumah. Kulirik buku yang ada di rak, tampak hasrat untuk
melisankan kata demi kata dari buku koleksiku yang berjejer rapi di rak buku.
Tiba-tiba konsentrasiku terfokus pada satu buku yang tampak mencolok dari jauh,
buku berwarna merah itu mengingatkanku pada sosok dia. Aku pun hanya memandang
buku itu selama beberapa waktu. Ada kisah yang tak mampu kulupakan dari
sosoknya. Sosok yang membuatku gundah dan hidup tanpa arah seperti sekarang
ini.
Hari berlalu begitu cepat. Tapi apa yang
kurasakan tak juga sirna dari perauduannya. Sempat satu waktu aku mulai
melupakan apa yang pernah terjadi semasa itu. Tapi semua kembali bangkit
menyerang tiap inci pikiranku. Hatiku semakin risau dibuatnya. Memang, aku
memang terlalu berlebihan menyikapi persoalan ini. Persoalan yang aku
sendiripun tak tahu awalnya. Semua muncul begitu saja.
Kuingat masa-masa itu, aku yang memang merasa
berbeda dari mereka. Jiwaku seakan kosong, pikiranku kadang hanya dipenhi oleh
lamunan-lamunan yang menjerumuskanku kepada lembah kesepian. Sebab itulah aku
merasa terkucilkan dari kelompok itu. Aku merasa hanya sebagai anggota buangan
yang tak berpengaruh apapun. Kehadiranku ataupun ketidakberadaanku dalam
kelompok itu semua tak merubah satu apapun. Memang iya, aku memang tak pernah
berarti apa-apa. Itulah yang menjadi awal kekacauan yanng terus mengahantui
pikiranku.
****
“Aku masih tertawan dengan rasa kepedihan yang
teramat dalam. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehku kini hadir dalam
hidupku. Rasa bersalah yang amat dalam membuatku begitu risau. Hingga menatap
dirinya dari jauhpun aku tak sanggup. Bayang-bayang kerusakan jiwaku seakan
siaga setiap saat tuk menerkamku. Menghanyutkanku kedalam lembah kesengsaraan
yang teramat dalam. Aku hanya bisa meneteskan air mataku dan hanyut dalam
kesedihan yang tak pernah berujung itu. Canda tawa yang pernah hadir dalam
dirinya saat bersamaku kini terhapus oleh kekesalan yang kian membawaku kedalam
jurang derita. Dalam ruang yang begitu gelap tanpa cela aku hanya bisa mengucap
maaf. Maaf Tulus Dari dalam Hati...”
Kelas yang tadinya hening tiba-tiba gempar tak
terkendali. Semua ponsel di dalam ruang kelas berdering. Bisik-bisik pun
mewabah. Pesan yang begitu panjang hadir secara misterius diruang kelas.
Membuyarkan semua persoalan tentang pelajaran. Semua asyik membahas pesan yang
tak diketahui siapa pengirimnya dan kepada siapa ditujukan. Saling tudingpun
tak bisa dihindari. Mereka masih hanyut dalam suasana rusuh, tiba-tiba ponsel
mereka kembali berdering. Pengirim yang sama kembali berulah.
“Kulihat dirimu tak ada selera menikmati
hari-harimu itu semakin menyulut rasa bersalah pada diriku. Andai kamu tahu itu
sangat membuatku begitu menyesal. Aku sangat menyesal atas apa yang kulakukan
terhadapmu. Tak pernah kusadari akan begini jadinya. Tak ada lagi rasa yang
bisa kurasakan selain rasa bersalah yang teramat sangat yang bisa kurasakan.
Dan tak ada lagi kata yang mampu terucap dari lisanku selain kata maaf, Maaf
Tulus dari dalam Hati... Maaf atas semua kesedihan yang telah kugoreskan dalam
bingkai hatimu. Maaf atas segala luka yang telah kau rasakan atas dosa dan
salahku yang teramat besar. Cuma itu yang mampu terucap dariku maaf, ya memang
hanya kata maaf yang bisa kulafalkan, Maaf, Maaf Tulus dari dalam Hati...”
Kelas makin ramai. amarah mulai tampak dari sebagian wajah anggota kelompok itu. Seorang pria dengan tinggi semampai mulai melontarkan kata makian. Kemudian disusul oleh oleh lelaki yang duduk disebelahnya dengan ucapan kotor dan melaknat si pengirim pesan itu. Tak hanya itu perempuan berkerudung hijau yang duduk dibaris paling depan pun berkoar-koar menghujat pengirim pesan. Saling tuduh, saling tunjuk, dan saling menyalahkanpun makin memanas.
“Dia, dia pelakunya.” tunjuk wanita berkerudung hitam. Semua mata tertuju pada pria berkacamata. Pria itupun hanya terdiam dan tak percaya dia yang menerima getah atas perilaku orang yang tak bertanggung jawab. “Mengaku sajalah, kamukan pelakunya. Saya tahu kamu lagi bermasalah dengan dia kan?” wanita berkerudung hitam menunjuk pria berkaos oblong yang dia yakini lawan dari si pria berkacamata. “Mana coba buktinya kalau saya yang melakukan. Kalau saya yang melakukan itu dia akan tahu kalau saya mengirim pesan karena dia duduk disampingku. Lagian dari tadi saya membaca buku kok.” Pria berkacamata membela diri dengan menyeret pria berkumis tipis yang duduk disampingnya sebagai orang yang akan lebih tahu apa yang dia perbuat selama duduk disampingnya.
“Saya tahu dia pelakunya. Karena kemarin dia
bertengkar dengan dia.” Wanita berambut pirang menunjuk si wanita berlesung
pipit yang diketahui sedang berselisih paham dengan wanita berbaju putih yang
duduk dipojok belakang. Wanita berlesung pipit hanya tersenyum sinis mendengar
ucapan si wanita beramput pirang dan melontarkan pembelaannya “Mana coba
buktinya kalau saya yang mengirim? Jangan asal tuduh deh. Jangan-jangan lagi
kamu yang mengirim tapi pura-pura menyalahkan orang lain untuk menutupi kedok
kamu.”
Kegaduhan hari ini memberikan warna tersendiri selama mereka berada dalam kelompok itu. Keadaan yang awalnya mengalir tenang kini dirusak oleh ombak perusuh yang menyambar kelompok itu. Tidak saling percaya mulai tampak begitu nyata dan kecemasan seakan lebih jelas dari setiap anggota kelompok. Kecemasan menjadi kambing hitam atas apa yang terjadi menjadi satu hal yang tak bisa mereka hindari. Kenyamananpun mulai hilang dibuatnya.
****
Matahari beralih memancarkan pesona yang begitu
indah. Langit tampak jingga mewarnai kota daeng petang ini. cuaca yang bersahabat
tak mampu membuat perasaanku merasa damai. Kelakuan yang pernah kuperbuat itu
membuatku gundah gulana. Hatiku dipenuhi kebimbangan yang teramat sangat.
Ketakutanku terhadap kegusaran darinya membuatku berpikir untuk membuka atas
apa yang selama ini aku tutup-tutupi. Hingga matahari tenggelam bagai tertelan
bumi, aku memutuskan untuk melakukan apa yang seharusnya kuperbuat. Lewat pesan
yang ku kirim di akhir senja, aku berharap semua akan kembali seperti sedia
kala.
“Aku diantara dia, dia, dan dia yang kalian sebut
sebagai pelaku pengirim pesan itu. Aku tak ada niatan untuk membuat kalian
semua berang. Aku hanya ingin kalian tahu betapa aku merasa bersedih atas apa
yang terjadi padaku. Aku menjadi tak enak hati kepada dia hanya karena ucapanku
yang sepele. Kini aku dan dia tak bisa seperti dulu lagi. Dulu aku dan dia
bersama yang lain bisa bepergian ke beberapa tempat. Namun kini hanya karena
bercandaanku yang buatku tak bernilai apa-apa tapi direspon berlebihan oleh
dia. Aku mengaku bersalah, aku memang tak kuasa membaca waktu yang tepat untuk
melontarkan kata-kata. Aku hanya ingin yang lain mengetahui apa yang
kemarin-kemarin kita lakukan itu membuat aku merasa bahagia karena di kota yang
tak ada seorangpun keluargaku, aku masih bisa merasakan hangatnya kebersamaan
layaknya apa yang aku dapatkan di rumah. Tapi kenapa, kenapa kamu tak bisa
mengerti perasaanku? Kemarin-kemarin ketika kamu bercanda, melontarkan
kata-kata yang tak terdengar bersahabat dkupingku aku masih memakluminya. Aku
tak pernah mengambil hati setiap kelakarmu padaku. Tapi hanya sekali aku
melakukan itu, Kenapa kamu tak bisa memahamiku dan berlaku adil padaku? Aku
juga ingin melakukan apa yang biasa kau lakukan itu. Apa yang salah denganku?
Apa? Apa? Sehingga kamu tak membiarkanku sekalipun untuk melontarkan candaan.
Lagian Kata-kataku tak mengandung olok-olok seperti yang kadang kau ujarkan
padaku. Aku minta maaf atas kesakitan hatimu hanya karena ucapanku yang ku
anggap enteng itu. Maaf, Maaf...
Maaf Tulus dari dalam Hati...
By: Dia yang terus diselimuti rasa bersalah”
Di malam panjang aku hanya mengurung diri di
kamar. Aku masih memikirkan apa yang telah aku perbuat tadi sore. Aku
mengirimkan pesan untuk menyelesaikan masalah yang aku telah timbulkan, namun
aku tak menekankan bahwa dia yang aku maksud itu adalah aku. Tiba-tiba
terdengar gemuruh dari atap rumah. Seakan awan mampu mendengar jeritan batinku
yang terbalut kepedihan. Awan gelap menyelimuti kota daeng dan menjatuhkan
titik-titik air tuk membasuh kota yang beberapa hari ini terasa palak. Seperti
malam ini, mataku terus mengalirkan butir-butir air mata. Aku merasa sedih
namun aku juga merasa kecewa. Aku bersalah namun aku juga menderita sebagai
korban keegoisannya. Meski seribu maaf yang ku ucap hatiku tak akan pernah
seperti semula lagi. Namun aku tak bisa berhenti menyebut maaf, Maaf Tulus dari
dalam Hati...
Untuk dia yang kini mungkin sudah melupakan hari
itu, aku disini terus berusaha mengingat kejadian itu. Untuk dia yang kini
sudah tak pernah ada kabarnya aku sampaikan sejuta maaf, Maaf Tulus dari dalam
Hati... Selama nafas ini masih berhembus selama itu pula peristiwa yang membuat
persahabat kita hancur terus menjadi bagian dari pikiranku. Remuk rengsa, namun
tak ada yang bisa ku perbuat. Tak ada yang bisa ku berikan padamu selain kata
Maaf.
Maaf Tulus dari dalam Hati...
0 komentar:
Posting Komentar